Kamis, 08 April 2010

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pemaparan makalah ini menyajikan suatu gambaran bagaimana Pancasila sebagai dasar negara dalam perkembangannya secarta konstitutional dihadapkan situasi tidak kondusif sehingga kredibilitasnya diperdebatkan. Realita ini adalah akibat dari pemahaman dan penerapan Pancasila yang lepas dari asumsi - asumsi dasar filosofinya.
Berbagai sikap dilontarkan secara sinis justru ketika persatuan sangat kita butuhkan untuk mendasari pluralitas etnis dan keberagaman agama.
Makalah ini secara historis-konstektual mencermati latar belakang Pancasila sebagai dasar negara, tahapan perkembangan, dan penegasan makna revitalisasi
Atas dasar masalah yang diuraikan di atas makalah ini disusun. Disamping itu adalah untuk memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah ulumul hadis.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalah makalah ini akan membahas beberapa hal sebagai berikut :
1. Kapankah Kodifikasi Hadis Resmi dilaksanakan ?
2. Metode apa saja yang dilakukan untuk pengkodifikasi hadist ?
3. Adakah implikasi dari kegiatan pentadwinan hadis ini ?
1.3 Ruang Lingkup
Menjelaskan tentang Sejarah Kodifikasi Hadist dari abad Ke II, III, dan IV H dan perkembangannya.
1.4 Tujuan Penulisan
Tujuan merupakan ungkapan sasaran – sasaran yang ingim dicapai dalam makalah ini. Dan dalam makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui sejarah Pengkodifikasian hadits dan perkembanganya
2. Untuk mengetahui metode apa saja dalam pentadwinan hadis tersebut
3. Untuk mengetahui implikasi kegiatan pengkodifikasian hadis ini
4. Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ulumul Hadis.



BAB II
Asal Mula Pancasila

Asal mula Pancasila secara materil merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia, yaitu berupa nilai - nilai yang terkandung di dalam Pancasila; secara formal merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah pergerakan nasional yang berpuncak pada proklamasi kemerdekaan, yaitu berupa proses perumusan dan pengesahannya sebagai dasar filsafat NKRI.
Secara materil, nilai-nilai Pancasila bermula dari tradisi hidup-berdampingan (antar-yang-berbeda agama), toleransi umat beragama, persamaan haluan politik yang
anti-penjajahan untuk mencita - citakan kemerdekaan, gerakan nasionalisme, dan sebagainya. Yang kesemuanya telah hidup dalam adat, kebiasaan, kebudayaan, dan agama - agama bangsa Indonesia.
Secara formal, perumusan Pancasila disiapkan oleh BPUPKI (29 Mei s.d. 1
Juni 1945) dan disahkan oleh PPKI (18 Agustus 1945).
Asal mula Pancasila sebagai dasar filsafat negara dibedakan kedalam 3 hal :
(1) causa materialis, yaitu berasal dari dan terdapat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia sebelum proklamasi kemerdekaan,
(2) causa formalis dan finalis, yaitu terdapat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia sekitar proklamasi kemerdekaan,
(3) causa efisien, yaitu terdapat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan.
2.4 Masih Layakkah Pancasila ?
Pertanyaan menggelitik terkait dengan adalah masih layakah sebenarnya Pancasila dipertahankan ? Apakah ada alternatif lain selain pancasila yang lebih cocok untuk mengatur kehidupan bangsa indonesia yang Plural ini?
Kita tahu, upaya dalam rangka mencari ideologi yang sesuai untuk bangsa Indonesia tidak semudah membalik telapak tangan. Pancasila tidak secara instant di lahirkan namun lahirnya Pancasila telah melewati perdebatan panjang dan tidak jarang diwarnai dengan pertikaian sengit mengenai dasar apa yang cocok untuk Negara Indonesia yang mempunyai karakter plural ini.
Dicetuskannya Pancasila berangkat dari sebuah pertimbangan bahwa pancasila adalah satu-satunya idiologi yang lebih bisa mengakomodasi kepentingan seluruh kelompok yang ada dinegeri ini. Dengan Lima sila yang tercantum dalam pancasila menunjukan bahwa Pancasila telah mengutamakan kepentingan bersama mengingat bangsa Indonesia yang Plural ini. Dari realitas ini menjadi jelas bahwa lahirnya pancasila adalah sebagi upaya menjawab keragaman bangsa agar tidak timbul saling fitnah, bunuh, saling mengklaim kebenaran kelompok dan lain-lain, sehingga kekerasan, permusuhan dalam bentuk apapun akan dengan mudah di selesaikan.
Kita semua tahu perbedaan adalah rahmat, namun ketika perbedaan itu kemudian harus tereduksi menjadi sebuah alat untuk saling membunuh, memerangi lawan dan memfitnah musuh maka rahmatpun kemudian menjadi barang langka sehingga arogansi, kesombongan, kekerasan senantiasa menjadi hiasan dalam setiap perilaku kita sehari-hari.
2.1 Apa itu Revitalisasi ?
Kata re•vi•ta•li•sa•si berarti adalah proses, cara, perbuatan menghidupkan atau menggiatkan kembali. Revitalisasi yang arti harfiahnya “menghidupkan kembali”, maknanya bukan sekedar mengadakan/mengaktifkan kembali apa yang sebelumnya pernah ada, tetapi menyempurnakan strukturnya, mekanisme kerjanya, menyesuaikan dengan kondisi baru, semangatnya dan komitmennya.
Revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital / hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran / degradasi. Skala revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro. Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat).
menurut Laretna T. Adishakti dalam tulisannya mengatakan bahwa kegiatan konservasi bisa berbentuk preservasi dan pada saat yang sama melakukan pembangunan atau pengembangan, restorasi, replikasi, resontruksi, revitalisasi dan atau penggunaan untuk fungsi baru suatu aset masa lalu.Untuk melakukannya perlu upaya lintas sektoral, multi dimensi dan disiplin serta berkelanjutan.
Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada penyelesaian keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada.
Untuk melaksanakan revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat yang bukan hanya sekedar ikut serta untuk mendukung aspek formalitas yang memerlukan adanya partisipasi masyarakat, selain itu masyarakat yang terlibat tidak hanya masyarakat di lingkungan tersebut saja, tapi masyarakat dalam arti luas.
2.2 Benarkah Pancasila Harus Direvitalisasi
Revitalisasi Pancasila mendesak karena beberapa alasan Kita tahu Sejarah telah mencatat bahwa para founding fathers telah menggagas idiologi Pancasila dengan arah dan tujuan yang sangat jelas, yakni ingin menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa serta mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera.
Lalu apakah cita - cita tersebut sudah tercapai ? Tentu kita harus realistis dan jujur harus mengatakan bahwa bangsa Indonesia masih tetap terkungkung dalam ketidakberdayaan. sejak masa berlangsungnya ‘ Masa Reformasi ’, beberapa faktor pemersatu bangsa jelas mengalami kemerosotan.
Di era reformasi dan era global ini kita menyaksikan seakan - akan Pancasila begitu ‘hilang dari peredaran’, padahal ia sesungguhnya merupakan ideology bangsa/negara Indonesia yang terwujudkan sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, dasar negara kesatuan Republik Indonesia, dan tujuan negara/bangsa Indonesia.
‘Kehilangan’ ini tampak pada adanya dua fenomena, sebagai contoh, berikut:
1. Dalam berpraktek politik kenegaraan, yang menonjol kini adalah aktualisasi ideologi-ideologi-aliran/ideologi-ideologi-partisan yang ditunjukan oleh pribadi - pribadi, partai-partai politik, ormas-ormas, daerah-daerah, dan lain sebagainya. Mereka cenderung mendahulukan kepentingan pribadi, kelompok, golongan, atau
daerah daripada kepentingan bangsa dan negara untuk bersama-sama mengatasi
krisis bangsa yang multidimensional.
2. Dalam berpraktek ekonomi nasional, yang menonjol kini adalah aktualisasi jualbeli uang, lobi bisnis politik-uang, perebutan jabatan publik ekonomis, dan lain sebagainya yang ditunjukan oleh para konglomerat, para pialang saham (baik pemain domestik maupun internasional), para politisi/partisan partai politik, atau yang lainnya yang seringkali mengabaikan kepentingan yang lebih luas, lebih besar, dan lebih jauh ke depan untuk kepentingan bangsa dan negara.
Cita - cita reformasi untuk bisa mengubah nasib rakyat pun semakin jauh panggang dari pada api, wajar kalau kemudian masyarakat sekarang begitu apatis dengan jalannya pemerintahan mengingat elit - elit politik baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif belum secara serius dan tanggung jawab melaksanakan amanat rakyat dan mereka hanya bisa mengumbar janji - janji manis terhadap rakyat fakta mengatakan bahwa Reformasi hanya dinikmati oleh segelintir elit yang berada dalam lingkaran dan jaring – jaring kekuasaan.
Ada serangkaian aksi yang tidak lagi mengindahkan prosedur hukum yang telah ditetapkan dalam Undang - Undang. Pada satu sisi, beberapa kelompok masyarakat begitu garangnya bertindak dengan menggunakan kekerasan dalam upaya merespon kelompok lain yang berbeda pendapat. Pada sisi yang lain instrument Negara seperti POLRI masih terkesan lalai dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai alat pelindung masyarakat dan cenderung cuek ketika tugas - tugas mereka diambil alih oleh sipil ( Paramiliter) yang selama ini marak terjadi di negeri ini.
Negara - bangsa yang berpusat di Jakarta semakin berkurang otoritasnya; sentralisme sebaliknya digantikan dengan desentralisasi dan otonomisasi daerah. Dalam hal terakhir ini kita menyaksikan bangkitnya sentimen provinsialisme dan etnisitas yang cenderung mengabaikan kepentingan dan integrasi nasional.
Pada saat yang sama, penghapusan kewajiban asas tunggal Pancasila yang diberlakukan sejak 1985, yang diikuti liberalisasi politik dengan sistem multipartai, juga menghasilkan berbagai ekses. Fragmentasi politik, baik di tingkat elite dan akar rumput terus berlanjut, dan cenderung disintegratif mengakibatkan adanya liberalisasi asas dengan munculnya berbagai halauan ideologi yang kesemuanya menghilangkan yang sering berakhir dengan lenyapnya keadaban publik ( public civility ),. Kelompok - kelompok masyarakat yang berhalauan agama rentan terhadap perpecahan, ini menunjukkan ideologi selain Pancasila tidak dapa mempersatukan semua keberadaan itu sehingga kelangsungan kehidupan bangsa cenderung disintegratif
Pada saat yang sama juga , liberalisasi politik berbarengan dengan kegagalan negara menegakkan hukum, memberikan momentum bagi menguatnya religious -based ideologies, yang cenderung divisif, karena adanya berbagai aliran pemikiran, mazhab, dan semacamnya di dalam agama.
Bisa disaksikan, parpol - parpol yang berlandaskan agama -- baik Islam maupun Kristen -- terus rentan pada perpecahan; landasan agama tidak mampu mengatasi perbedaan - perbedaan yang berimpitan dengan kontestasi pengaruh dan kekuasaan. Pada saat yang sama, terlihat pula peningkatan berbagai kelompok masyarakat yang bergerak atas religious - based ideologies dan atas nama agama.
Yang tak kurang pentingnya adalah serbuan globalisasi, yang tidak hanya menimbulkan disorientasi dan dislokasi sosial, tetapi juga bahkan mengakibatkan memudarnya identitas nasional dan bahkan jati diri bangsa. Globalisasi yang sesungguhnya juga punya nilai positif, sebaliknya justru lebih banyak menimbulkan ekses negatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara..
Pada sisi yang lain revitalisasi juga merupakan bentuk penyadaran bagi masyarakat bahwa kita hidup di Indonesia yang sangat plural dalam berbagai hal tidak hanya agama, bahasa maupun budaya. Hal ini menjadi penting mengingat pancasila sebagai ideology bangsa, telah mulai dilupakan oleh masyarakat
Maraknya aksi - aksi dengan mengatasnamakan agama serta tafsir tunggal kebenaran yang hanya dimiliki kelompok tertentu adalah upaya untuk mendorong pemarginalan terhadap Pancasila dan yang lebih ekstrim pemusnahan Pancasila sebagai sebuah Idiologi.
Kita tahu Pancasila adalah alat permersatu bangsa. Claim of truth (Klaim kebenaran ) kelompok dengan menjudge bahwa hanya kelompok tertentu yang paling benar dan paling mempunyai hak untuk hidup dan berkuasa di bumi ini adalah merupakan tindakan konyol dan jelas - jelas bertentangan tidak hanya dengan nila - nilai yang tekandung dalam pancasila namun juga bertentangan dengan ajaran agama.
Sangat beralasan manakala hal ini dapat kita lihat dari kenyataan bahwa dorongan untuk memaksakan kebenaran lewat aksi - aksi anarkis menunjukan bahwa mereka kurang memahami dan menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila.
Contohnya saja Pada tanggal 1 Juni 2008, sebuah tragedi mengenaskan kembali terjadi di bumi Indonesia dimana bertepatan dengan peringatan hari lahir Pancasila, bentrokan yang membawa korban luka masa Aliansi Kebangsan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB) dengan masa Front Pembela Islam tak terhindarkan. Peristiwa yang terjadi di MONAS tersebut menuai banyak protes dari berbagai kalangan dimana pada umumnya kelompok - kelompok yang mendukung aksi AKBB ini mengecam keras tindakan anarkis yang di lakukan FPI. Hal lain yang lebih tragis lagi adalah peristiwa ini terjadi disaat masa AKBB mau memperingati hari lahir pancasila, sehingga tindakan kekerasan yang dilakukan oleh FPI dinilai menciderai nilai - nilai pancasila yang menjunjung tinggi perbedaan dalam bingkai persatuan. .
Upaya untuk membubarkan Jamaâah Ahmadiyah dari bumi Indonesia disertai dengan aksi-aksi anarkis seperti penyerbuan dan penghancuran masjid milik Jamaah ini seperti AKSI pembakaran Masjid Al-Furqon di Kabupaten Sukabumi beberapa waktu lalu adalah contoh real dimana perbedaan dianggap sebagai musuh kelompok - kelompok tertentu. Ini adalah fakta riil dimana kelompok ini kurang bisa mengahargai perbedaan, apalagi di barengi dengan tindakan anarkis yang jelas-jelas bertentangan dengan falsafah dan nilai-nilai luhur pancasila.
Mereka beranggapan bahwa kebenaran hanya dimiliki oleh segelintir kelompok, sehingga mereka tidak pernah berfikir bahwa sesungguhnya benar menurut mereka belum tentu benar untuk kelompok yang lain. Hal ini menunjukan bahwa mereka tidak lagi berpijak pada idiologi Pancasila sebagai sebuah perspektif untuk melihat persoalan yang ada karena mereka tidak mengakui eksistensi kelompok yang lain yang berbeda.
2.3 Apa kata Mereka
1. Cornelis Lay, pengamat politik dan pengajar dari UGM
Beliau hanya menekankan bahwa perdebatan apakah Pancasila itu sebuah ideologi atau tidak, mestinya sudah usai. Secara teori, Pancasila memenuhi syarat sebagai sebuah ideologi. Tinggal bagaimana penerapannya dalam kehidupan sehari - hari. dengan menjalankan tidak menggunakan parameter - parameter kesukuan atau ikatan primordial lainnya.
Misalnya yang dilakukannya sehari - hari, dalam mengoreksi ujian mahasiswa, maka dia hanya memberi nilai sesuai jawaban yang diberikan. Cornelis menyatakan dia menutup mata soal latar belakang mahasiswanya, entah itu terkait soal suku, agama, aktivis dll. Kalau dia aktivis tapi nilainya jelek, ya tetap diberi jelek.
2. Faisal Basri, pengamat ekonomi sekaligus ketua Organisasi Pergerakan Indonesia Yogyakarta
Sementara Faisal Basri mengritik UUD saat ini yang masih jauh dari sempurna. UUD 1945 waktu dibuat dalam keadaan darurat dan hanya dibuat oleh segelintir orang. Namun sampai sekarang masih dipakai, walau ada penambahan sana sini. bagi Faisal Basri, konstitusi yang sekarang belum sempurna, perlu ada perubahan yang menyerap aspirasi seluruh rakyat.
3. KH. Abdul Muhaimin, pimpinan pondok pesantren di Bantul dan ketua Forum Persaudaraan Umat Beriman
Kisah menarik muncul dari KH Abdul Muhaimin. Dia memberi illustrasi kondisi pesantrennya, yang santrinya berasal dari berbagai macam daerah. “ Bahasa Jawa, ayam itu ditulis pitik. Tapi orang Jawa Timur akan melafalkannya : petek. Jogja-Solo beda lagi, akan mengucapkan pitek dan orang Banyumas beda lagi mengucapkannya : pitik.
Pak Kyai ini mau menggambarkan kalau Indonesia itu penuh dengan keberagaman. Dia berharap Pancasila tidak lagi dimaknai tunggal, seperti dalam Penataran P4 dulu, tapi biarlah masing - masing daerah mempunyai keunikan masing - masing, dalam nafas yang sama yaitu Pancasila.

2.4 Langkah Pancasila Direvitalisasi
Merevitalisasi Pancasila adalah sebuah keniscayaan mutlak ketika kondisi bangsa semakin jauh dari keadilan sosial, kemakmuran, kemajuan dan lain sebagainya. Membiarkan kondisi bangsa dalam keterpurukan sama halnya kita sengaja menjadikan Pancasila hanya sebagai alat politisasi untuk melanggengkan kekuasaan seperti yang pernah terjadi pada masa Orde baru dibawah pemeritahan Soeharto.
Kita tahu, ‘Orde Baru’ telah memperlakukan Pancasila ibarat Rahwana mengambil-alih Sita selama bertahun-tahun. Analogi dari epos Ramayana ini tak sepenuhnya tepat, tapi seperti Sita setelah kembali dibebaskan oleh Rama, Pancasila di mata orang banyak, terutama bagi mereka yang tertekan, setelah ‘Orde Baru’ runtuh, seakanakan bernoda: ia tetap dikenang sebagai bagian dari lambang kekuasaan sang Rahwana. Tapi kita tahu, kesan itu tak benar dan tak adil – sama tak benar dan tak adilnya ketika Rama meletakkan Sita dalam api pembakaran untuk membuktikan kesuciannya.
Perevitalisasikan Pancasila sebagai dasar negara kita berpedoman pada wawasan :
1. Spiritual, untuk meletakkan landasan etik, moral, religius sebagai dasar dan arah pengembangan profesi
2. Akademis, menunjukkan bahwa Pancasila adalah aspek being, tidak sekedar aspek having
3. Kebangsaan, menumbuhkan kesadaran nasionalisme
4. Mondial, menyadarkan manusia dan bangsa harus siap menghadapi dialektikanya perkembangan dalam mayaraka dunia yang “ terbuka ”.
Sehubungan dengan hal tersebut, revitalisasi Pancasila dilakukan dalam dua tingkatan, yaitu pada tataran ide dan praksis.
• Dalam tataran ide, hal yang paling penting dilakukan adalah menjawab sikap alergi masyarakat terhadap Pancasila
Karena itu, gotong royong dan musyawarah bisa menjadi cara bagi representasi Pancasila. Gotong royong dan musyawarah juga bisa dijadikan sumber dalam rangka revitalisasi Pancasila.
• Dalam tataran praksis, utamanya menyangkut relasi penyelenggaraan negara dan masyarakat, revitalisasi Pancasila harus dimulai dengan membangkitkan kegairahan dan optimisme publik. Misalnya, kepemimpinan nasional harus menegaskan kembali bahwa NKRI adalah bukan negara agama. Kepemimpinan nasional harus menegaskan kembali bahwa Indonesia adalah negeri yang kebebasannya berlandaskan Bhineka Tunggal Ika.
Revitalisasi Pancasila mutlak untuk dilakukan jika tidak ingin ada kehancuran di Negara yang kita cintai ini. Ada beberapa hal yang perlu kita lakukan.
1. penanaman nilai-nilai Pancasila pada generasi mulai usia anak-anak secara kontinyu sampai mereka dewasa.
2. menjadikan pancasila sebagai satu-satunya asas dalam segala hal sehingga akan terekonstruksi kembali pemahaman tentang Pancasila.
3. menjadikan isu Pancasila sebagai kendaraan Politik menuju kekuasaan, karena dengan hal tersebut kemurnian Pancasila sebagai dasar negara akan hilang.
4. yang terakhir pemerintah hendaknya mempunyai pemikiran - pemikiran kembali untuk menanamkan nilai - nilai Pancasila kepada semua lapisan masyarakat dengan formula baru dan disesuaikan dengan perkembangan jaman sehingga penjabaran Pancasila dapat dimengerti, dipahami dan dilaksanakan oleh semua lapisan masyarakat.
Itulah refleksi tentang perlunya revitalisasi Pancasila, semoga dapat menjadi pelajaran kita semua dan besar harapan semoga Pancasila terefleksi dengan kuat dalam jiwa kita masing - masing.
Lebih jauh, Pancasila adalah solusi alternatif bagi terwujudnya NKRI, yang telah teruji semenjak masa kemerdekaan sampai dengan masa reformasi. Meskipun kita juga tidak bisa menafikan bahwa dalam perjalanannya ada berbagai macam cobaan dan tantangan yang senastiasa datang dan mengiringi dalam setiak gerak dan langkah dinamika bangsa ini. Hal lain yang penting untuk dicatat bahwa lembaran sejarah yang pernah terukir terkait dengan upaya untuk merongrong eksistensi Pancasila selalu dapat di selesaikan meskipun dalam upaya mempertahankannya tidak jarang jatuh korban dan ribuan nyawa melayang.
Contoh kecil pergolakan yang terjadi terkait dengan masalah ini adalah Pemberontakan Komunis atau PKI dan Darul Islam /DI TII, Permesta dan yang lain. Seluruh pergolakan ini pada dasarnya ingin mengganti ideologi pancasila dengan ideologi lain seperti komunisme maupun Islam. Alhasil, dengan semangat persatuan dan kesatuan terbukti upaya mengganti pancasila selalu mengalami kegagalan. Hal ini menunjukan bahwa Pancasila adalah ideologi yang tidak ada bandinganya untuk bangsa Indonesia karena Pancasila adalah alat permersatu bagi seluruh komponen yang berbeda - beda sehingga setiap upaya untuk menggatinya selalu akan berhadapan dengan seluruh kekuatan Indonesia secara menyeluruh yang telah terpatri sejak periode kemerdekaan.
MAKNA REVITALISASI PANCASILA
Revitalisasi Pancasila sebagai dasar negara mengandung makna bahwa Pancasila harus diletakkan utuh dengan pembukaan, di-eksplorasi-kan dimensi - dimensi yang melekat padanya, yaitu :
Realitasnya: dalam arti bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dikonkretisasikan sebagai kondisi cerminan kondisi obyektif yang tumbuh dan berkembang dlam masyarakat, suatu rangkaian nilai-nilai yang bersifat sein im sollen dan sollen im sein.
Idealitasnya: dalam arti bahwa idealisme yang terkandung di dalamnya bukanlah sekedar utopi tanpa makna, melainkan diobjektivasikan sebagai “ kata kerja ” untuk membangkitkan gairah dan optimisme para warga masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif, menuju hari esok lebih baik.
Fleksibilitasnya: dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang sudah selesai dan mandeg dalam kebekuan oqmatis dan normatif, melainkan terbuka bagi tafsir-tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan zaman yang berkembang. Dengan demikian tanpa kehilangan nilai hakikinya, Pancasila menjadi tetap aktual, relevan serta fungsional sebagai tiang-tiang penyangga bagi kehidupan bangsa dan negara dengan jiwa dan semangat “ Bhinneka tunggal Ika ”
Revitalisasi Pancasila sebagai dasar negara harus diarahkan pada pembinaan moral, sehingga moralitas Pancasila dapat dijadikan sebagai dasar dan arah dalam upaya mengatasi krisis dan disintegrasi. Moralitas juga memerlukan hukum karena keduanya terdapat korelasi. Moralitas yang tidak didukung oleh hukum kondusif akan terjadi penyimpangan, sebaliknya, ketentuan hukum disusun tanpa alasan moral akan melahirkan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila
Bangsa Indonesia dihadapkan pada perubahan, tetapi tetap harus menjaga budaya - budaya lama. Sekuat- kuatnya tradisi ingin bertahan, setiap bangsa juga selalu mendambakan kemajuan. Setiap bangsa mempunyai daya preservasi dan di satu pihak daya progresi di lain pihak. Kita membutuhkan telaah - telaah yang kontekstual, inspiratif dan evaluatif.
Sudah saatnya Pemerintah mempunyai Good - will sebagai upaya responsif atas persoalan kebangsaan yang melanda akhir - akhir ini. Implementasi good will ini tentunya tidak menjadikan rakyat Indonesia sebagai tumbal untuk mengamankan Negara bersama kepentingan kelompok - kelompok kecil di lingkaran kekuasaan
Revitalisasi tentu suatu upaya sistematis dalam rangka kembali membangun spirit nasionalisme yang selama ini telah mengalami kemunduran sehingga seluruh persoalan kebangsaan seperti konflik etnis, agama, serta permasalahan dalam apapun bentuknya bisa dengan mudah teratasi. Ini menjadi agenda penting yang harus seceptanya dilakukan ketika semangat persatuan menjadi barang langka di negeri ini.


BAB III PENUTUP
Kesimpilan

Dalam kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara yang sedang dilanda oleh arus krisis dan disintegrasi maka Pancasila tidak terhindar dari berbagai macam gugatan, sinisme, serta pelecehan terhadap kredibilitasnya. Namun perlu kita sadari bahwa tanpa adanya “platform” dalam dasar negara atau ideologi maka suatu bangsa mustahil akan dapat bertahan dalam menghadapi berbagai tantangan dan ancaman.
Melalui revitalisasi inilah Pancasila dikembangkan dalam semangat demokrasi yang secara konsensual akan dapat mengembangkan nilai praksisnya yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang serba pluralistik. Selain itu melestarikan dan mengembangkan Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana telah dirintis dan ditradisikan oleh para pendahulu kita semenjak tahun 1908, merupakan suatu kewajiban etis dan moral yang perlu diyakinkan kepada wni sekarang.
Kini kita membutuhkan Pancasila kembali karena ia merupakan rumusan yang ringkas dari ikhtiar bangsa kita yang sedang meniti buih untuk dengan selamat Mencapai persatuan dalam perbedaan. Dengan kata lain, kita Membutuhkan Pancasila kembali untukmengukuhkan, bahwa kita mau tak mau perlu hidup dengan sebuahpandangan dan sikap yang manusiawi – yang mengakui peliknya hidup bermasyarakat.
Kata Bung Karno, tak ada sebuah negara yang hidup yang tak mengandung ‘kawah Candradimuka’ yang ‘mendidih’ di mana pelbagai ‘faham’ beradu di dalam badan perwakilannya. Tak ada sebuah negara yang dinamis ‘kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya’.
Kita membutuhkan Pancasila kembali karena kita perlu bicara yakin kepada mereka yang mendadak merasa lebih tinggi ketimbang sebuah Republik yang didirikan dengan darah dan keringat berbagai penghuninya – Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, ataupun atheis -- perjuangan yang lebih lama ketimbang 60 tahun.
Kita membutuhkan Pancasila kembali karena ia merupakan proses negosiasi terus menerus dari sebuah bangsa yang tak pernah tunggal, tak sepenuhnya bisa ‘eka, dan tak ada yang bisa sepenuhnya meyakinkan bahwa dirinya, kaumnya, mewakili sesuatu yang Maha Benar



DAFTAR PUSTAKA

Al – munawar, Said agil. 2004. Al qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta : Ciputat Press
Azami, Muhammad Musthafa., 1994. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (terjemahan Ali Mustafa Yaqub), , Jakarta : Pustaka Firdaus Kodifikasi Hadis: Sebuah Telaah Historis http://uin-suka.info/ejurnal Powered by Joomla! Generated: 16 February, 2010, 16:01
Hasan ar-Rahmânî , Abdul Ghoffâr. 2007. Pengantar Sejarah Tadwîn (Pengumpulan) Hadîts Sumber : http://www cl earpath com
Supatra Munzier. 2006. Ilmu Hadis. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Ulama ’i , A.Hasan Asy ’ari. Sejarah dan Tipologi Syarah Hadis.
Yuslem Nawir. 2001. Ulumul Hadits. Jakarta : PT. Mutiara sumber Widyia
www. N 47 VW blogpot .com
20 maret 2010

Kreator lambang NKRI yang Terlupa


Sepanjang orang Indonesia, siapa tak kenal burung Garuda berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila). Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa pembuat lambang negara itu dulu? Sultan Hamid II yang terlahir dengan nama ' Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie (lahir di Pontianak, Kalimantan Barat, 12 Juli 1913 – meninggal di Jakarta, 30 Maret 1978 pada umur 64 tahun) adalah Perancang Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila. Dalam tubuhnya mengalir darah Arab-Indonesia -- walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak --keduanya sekarang di Negeri Belanda. Syarif menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.
Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan - perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.
Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.
Sultan Hamid II dalam percakapan dengan Ida Anak Agung Gde Agung, raja Gianyar (tahun 1949) Pada 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan “ over commando ” kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA. Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalbar - karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL.
Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat marah.
Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara.
Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ngabehi Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “ Bung Hatta Menjawab ” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar - sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.
Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang ( Sultan Hamid II ), Presiden RIS Soekarno dan PM Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika".
Pada tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali - Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri.
AG Pringgodigdo dalam bukunya “ Sekitar Pancasila ” terbitan Departemen Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “ gundul ” dan “' tidak berjambul ”' seperti bentuk sekarang ini.
Inilah karya kebangsaan anak - anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes, Jakarta pada 15 Februari 1950.
Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “ gundul ” menjadi “ berjambul ” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno.
Tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk akhir rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.
Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. Rancangan terakhir inilah yang menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 Jo Pasal 6 PP No 66 Tahun 1951 Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah, Pontianak. . Sultan Hamid II diberhentikan pada 5 April 1950 akibat diduga bersengkokol dengan Westerling dan APRA-nya
Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan berkas dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ ide perisai Pancasila ” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.
Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.
Turiman SH M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak yang mengangkat sejarah hukum lambang negara RI sebagai tesis demi meraih gelar Magister Hukum di Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa hasil penelitiannya tersebut bisa membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah perancang lambang negara. “ Satu tahun yang melelahkan untuk mengumpulkan semua data. Dari tahun 1998-1999,” akunya.
Yayasan Idayu Jakarta, Yayasan Masagung Jakarta, Badan Arsip Nasional, Pusat Sejarah ABRI dan tidak ketinggalan Keluarga Istana Kadariah Pontianak, merupakan tempat-tempat yang paling sering disinggahinya untuk mengumpulkan bahan penulisan tesis yang diberi judul Sejarah Hukum Lambang Negara RI (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan). Di hadapan dewan penguji, Prof Dr M Dimyati Hartono SH dan Prof Dr H Azhary SH dia berhasil mempertahankan tesisnya itu pada hari Rabu 11 Agustus 1999. “ Secara hukum, saya bisa membuktikan. Mulai dari sketsa awal hingga sketsa akhir. Garuda Pancasila adalah rancangan Sultan Hamid II,” katanya pasti.
HE IS MY CONTRY HEROES
MAKALAH ILMU PENDIDIKAN
LINGKUNGAN PENDIDIKAN
Disusun sebagai tugas mata kuliah Ilmu Pendidikan
Dosen Pengampu :
Ahmad Fauzi, M.ag














PENYUSUN :
Nur Laili Hidayatu Zulfa
Binti Umayah
Imro’atus Sholihah
M. Badi’ Umnu Sabi’
Muh. Ikhsanur Rizal

PROGRAM S1 PAI
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
“ AL – MUSLIHUUN “
TLOGO - KANIGORO - BLITAR
TAHUN 2010











Kata Pengantar

Alhamdulillah, segala puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas karunia - Nya lah kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah Ilmu pendidikan Islam ini.
Sholawat salam semoga tetap terlimpakahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang akan selalu dan selalu kita harapkan syafa’atnya sampai akhir nanti.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam semester II tingkat 1.
Harapan kami, kiranya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca untuk dijadikan sebagai bahan referensi dalam wacana pendidikan.
Akhir kata, tak ada gading yang tak retak. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami dengan senang hati akan menerima kritik dan saran yang konstruktif untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.


Blitar, 01 April 2010

Tim penyusun Tim Lima












Daftar Isi

Halaman judul.................................................................................. I
Kata Pengantar ................................................................................ II
Daftar Isi ........................................................................................ III

BAB I
PENDAHULUAN.............................................................................1
BAB II
LINGKUNGAN PENDIDIKAN........................….....................…..2
BAB III
PENUTUP.........................................................................................8
Daftar Pustaka ..................................................................................9
















BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pendidikan bagi kehidupan manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus segera dipenuhi. Tanpa peranan pendidikan sama sekali mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan mimpi dan cita –cita untuk sejahtera maju dan bahagia menurut konsep dan pandangan hidup mereka.
Menyikapi hal itulah, maka perlu sekali pendidikan itu menjadi poin terdepan untuk dikelola secara sistematis, efektif dan efisien serta konsisten yang didasarkan oleh berbagai sudut pandang teoretikal dan praktikal sepanjang itu sesuai dengan lingkungan manusia itu sendiri.
Lingkungan pendidikan merupakan salah satu unsur di dalam pendidikan sebagai sebuah system.Untuk penyelenggaraan pendidikan dan pencapaian tujuan pendidikan yang maksimal lingkungan pendidikan yang aman nyaman dan kondusif apalagi yang edukatif tentunya sangatlah amat berpengaruh sekali. Pembahasan lingkungan pendidikan pada dasarnya juga membahas hubungan serta pengaruh pendidikan dan lingkungannya. Disamping itu juga makalah ini untuk memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah Ilmu pendidikan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalah makalah ini mencakup beberapa permasalahan dari Ilmu Pendidikan yaitu sebagai berikut :
1. Apakah pengertian lingkungan pendidikan itu ?
2. Ada beberapa macamkah lingkungan Pendidikan itu ?
3. Apa saja hubungan di antara tripusat pendidikan tersebut?
1.3 Ruang Lingkup
Menjelaskan tentang Lingkungan Pendidikan dan seluk beluknya
1.4 Tujuan Penulisan
Tujuan merupakan ungkapan sasaran – sasaran yang ingim dicapai dalam makalah ini. Dan dalam makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut
1. Mengetahui tentang pengertian Lingkungan Pendidikan
2. Mengetahui beberapa macam Lingkungan Pendidikan dan hubungannya
3. Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam
BAB II
LINGKUNGAN PENDIDIKAN
2.1 Pengertian Lingkungan
Lingkungan dalam pengertian umum, berarti mencakup hal –hal di sekililing kita, yang kita terkait kepadanya secara langsung mauun tidak langsung yang hidup dan kegiatan kita berhubungan dan tergantung padanya Menurut Sartain (ahli psikologi Amerika), yang dimaksud lingkungan itu adalah meliputi kondisi dan alam dunia ini yang dengan cara - cara tertentu mempengaruhi tingkah laku kita, pertumbuhan, perkembangan atau life processes. Lingkungan adalah sesuatu yang berada di luar batasan-batasan kemampuan dan potensi genetik seseorang dan ia berperan dalam menyiapkan fasilitas-fasilitas atau bahkan menghambat seseorang dari pertumbuhan.
Dalam literatur pendidikan, Lingkungan pendidikan biasanya disamakan dengan institusi atau lembaga pendidikan. Menurut Muhammad Kosim LA, MA ” Lingkungan pendidikan adalah suatu institusi atau kelembagaan dimana pendidikan tersebut berlangsung yang keberadaannya akan mempengaruhi proses pendidikan tersebut berlangsung,
Meskipun lingkungan tidak bertanggung jawab terhadap kedewasaan anak didik, namun merupakan faktor yang sangat menentukan yaitu pengaruhnya yang sangat besar terhadap anak didik, sebab bagaimanapun anak tinggal alam satu lingkungan yang disadari atau tidak pasti akan mempengaruhi anak.
Dalam lapangan pendidikan, arti lingkungan itu luas sekali, yaitu segala sesuatu yang berada di luar diri anak, dalam alam semesta kita. Lingkungan ini mengitari manusia sejak manusia dilahirkan sampai dengan meninggalnya.
Antara lingkungan dan manusia ada pengaruh yang timbal balik, artinya lingkungan mempengaruhi manusia, dan sebaliknya, manusia juga mempengaruh lingkungan di sekitamya. Lingkungan sekitar yang dengan sengaja digunakan sebagai alat dalam proses pendidikan dan juga sebagai tempat mendapatkan pendidikan disebut dengan lingkungan pendidikan
Secara umum fungsi lingkungan pendidikan adalah membantu peserta didik dalam interaksi dengan berbagai lingkungan sekitarnya, utamanaya berbagai sumber daya pendidikan yang tersedia, agar dapat mencapai tujuan pendidikan yang optimal.
2.2 Macam – macam Lingkungan pendidikan
Lingkungan pendidikan sangat dibutuhkan dalam proses pendidikan, sebab lingkungan pendidikan tersebut berfungsi menunjang terjadinya proses KBM Kegiatan Belajar Mengajar secara aman, nyaman, tertib, dan berkesinambungan. Dengan suasana tersebut, maka proses pendidikan dapat diselenggarakan menuju tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan.
A. Lingkungan Keluarga
Bagi kebanyakan anak, lingkungan keluarga merupakan lingkungan pengaruh inti, setelah itu sekolah dan kemudian masyarakat. Keluarga dipandang sebagai lingkungan dini yang dibangun oleh orang tua dan orang - orang terdekat. Pendidikan ini berlangsung tanpa organisasi, yakni tanpa orang tertentu yang diangkat atau ditunjuk sebagai pendidik, tanpa suatu program yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu, tanpa evaluasi yang formal berbentuk tujuan.
Dalam bentuknya keluarga selalu memiliki kekhasan. Setiap keluarga selalu berbeda dengan keluarga lainnya. Ia dinamis dan memiliki sejarah “ perjuangan, nilai - nilai, kebiasaan ” yang turun temurun mempengaruhi secara akulturatif (tidak tersadari).
Sebagaian ahli menyebutnya bahwa keluarga merupakan miniatur dan pada masyarakat dan kehidupannya, maka pengenalan kehidupan keluarga sedikit atau banyak pasti akan memberi warna pada pandangan anak terhadap hidup bermasyarakat. Dan juga corak kehidupan pergaulan di dalam keluarga akan ikut menentukan atau mempengaruhi perkembangan diri anak
Bahkan Bapak Pendidikan, RM. Soewardi Suryaningrat atau lebih dikenal dengan sebutan Ki Hajar Dewantara, menyebutkan bahwa keluarga itu bagi tiap – tiap orang adalah alam pendidikan permulaan. Orang tua sebagai pendidik, dan si anak sebagai anak didik. Oleh karena tu , keluarga mesti dan harus menciptakan suasana yang edukatif agar tujuan pendidikan tercapai.
Pengaruh keluarga amat besar dalam pembentukan pondasi kepribadian anak. Keluarga yang gagal membentuk kepribadian anak biasanya adalah keluarga yang penuh konflik, tidak bahagia, tidak solid antara nilai dan praktek, serta tidak kuat terhadap nilai-nilai baru yang rusak. Lebih jelasnya, kepribadian anak tergantung pada pemikiran dan tingkah laku kedua orang tua serta lingkungannya.
Keluarga sendiri bagi anggotanya memiliki fungsi:
1. Proteksi ( Perlindungan )
2. Rekreasi
3. Inisiasi ( Perkenalan )
4. Sosialisasi ( Pewaris nilai – nilai dan norma )
5. Edukasi ( Belajar )
Sedangkan Keluarga sebagai kawah candra dimuka pendidikan anak memiliki beberapa tujuan :
1. Sebagai pengalaman pertama masa kanak – kanak
2. Menjamin kehidupan emosional anak
3. Menanamkan dasar pendidikan mora
4. Memberikan dasar pendidikan sosial.
5. Meletakkan dasar - dasar pendidikan agama bagi anak-anak.
Beberapa faktor yang nantinya hal ini bisa mendukung agar dalam lingkungan keluarga itu dapat menjadi lingkungan yang edukatif. adalah faktor sosial ekonomi keluarga, faktor keutuhan keluara, dan yang terakhir adalah sikap dan kebiasaan orang tua.
B. Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan lembaga formal sangat menentukan membentuk kepribadian anak yang maksimal. Sering juga sekolah disebut lembaga pendidikan kedua yang berperan dalam pendidikan.
Hal ini cukuplah beralasan , mengingat sekolah merupakan tempat khusus dalm menuntut ilmu penetahuan. Sekolah yang telah memberikan lingkungan yang menunjang bagi kesuksesan pendidikan maka sekolah itu secara langsung dan tidak langsung memberikan sentuhan perlakuan kepada anak. Lingkungan sekolah yang sehat diyakini dapat memberikan rasa nyaman dan meningkatkan kualitas belajar mengajar, sehingga mampu meningkatkan minat belajar siswa dan mendorong siswa untuk meraih prestasi
Disebut sekolah bilamana dalam pendidikan tersebut diadakan di tempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai perpanjangan dan dalam kurun waktu tertentu, berlangsung mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, dan berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan.
C. Lingkungan Masyarakat
Menurut kodratnya manusia adalah makhluk masyarakat . Manusia selalu hidup bersama dan berada di tengah – tengah manusia yang lain untuksaling berinteraksi. Keadaan ini terjadi karena dalam diri manusia terdapat dorongan untuk hidup bermasyarakat di samping adanya juga dorongan keakuan.
Masyarakat bila dilihat dari konsep sosiologi adalah sekumpulan manusia yang bertempat tinggal dalam suatu kawasan dan saling berinteraksi sesamanya untuk mencapai tujuan. Secara kualitatif dan kuantitatif, anggota masyarakat terdiri dari anggota keluarga yang heterogen ( majemuk ).
Dalam konteks pendidikan, Masyarakat adalah sekumpulan banyak orang dengan berbagai ragam kualitas diri mulai dari atas sampai bawah. Ia adalah Laboratorium besar tempat para anggotanya mengamalkan apa yang dimilikinya. masyarakat merupakan lingkungan - lingkungan keluarga dan sekolah. Pendidikan yang dialami dalam masyarakat ini, telah mulai ketika anak-anak untuk beberapa waktu setelah lepas dari asuhan keluarga dan berada di luar dari pendidikan sekolah. Dengan demikian, berarti pengaruh pendidikan tersebut tampaknya lebih luas.
Corak dan ragam pendidikan yang dialami seseorang dalam masyarakat banyak sekali, ini meliputi segala bidang, baik pembentukan kebiasaan -kebiasaan, pembentukan pengertian - pengertian (pengetahuan ), sikap dan minat, maupun pembentukan kesusilaan dan keagamaan
Masyarakat sebagai lembaga pendidikan non formal, juga menjadi bagian penting proses pendidikan , tetapi tidak terikat peraturan – peraturan tertentu yang ketat dan tetap. Masyarakat yang terdiri dari kelompok atau beberapa individu yang beragam akan mempengaruhi proses pendidikan. Entah itu berdampak positif ataupun berdampak sebaliknya.
Mengingat pentingnya peran masyarakat sebagai pendidikan , maka setiap individu sebagi anggota masyarakat haruslah menciptakan suasana yang aman dan nyaman demi keberlangsungan proses pendidikan yang ada di dalamnya.
Lalu bagaimanakah ciri – ciri lingkungan masyarakat yang baik dan edukatif ?
Tentunya, lingkungan masyarakat yang baik memiliki ciri dapat mendorong peserta didik atau anak untuk bisa maju menjadi lebih baik.
Di negara kita Indonesia sendiri dikenal adanya konsep pendidikan berbasis masyarakat (COMMUNITY BASID EDUCATION ) sebagai upaya untuk pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Bisa disebut masyarakat ini adalah masyarakat yang warganya belajar ( Masyarakat Pembelajar ). Ciri – cirinya yang menonjol adalah memiliki budaya baca, menulis, dan bertanya serta bermoral. Meskipun konsep ini sering dikaitkan dengan lembaga pendidikan formal ( sekolah ), namun konsep ini menunjukkan bahwa kepedulian masyarakat sangat dibutuhkan sekali.





2.3 Hubungan Timbal balik tri pusat pendidikan







.


Keterangan :
Dari bagan ini dapat kita perhatikan bahwa keterpaduan dan kesatubahasaan antara 3 lingkungan pendidikan bias dipastikan tujuan pendidikan tersebut akan mudah tercapai.
Ketiga sudut segitiga dalam lingkaran itu menggambarkan upaya maksimal yang dterus diupayakan oleh masing – masing Lingkungan pendidikan melalui kerja sama yang terpadu. Sedangkan lingkaran itu menunjukkan bahwa secara fungsional mereka bertanggung jawab akan pendidikan peserta didik.









BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Ada beberapa poin yang dapat kita simpulkan dari beberapa hala uraian diatsa mengenai lingkungan pendidikan. Beberapa poin trsebut adalah :
1. Lingkungan Keluarga adalah lingkungan yang meletakkan dasar – dasar pendidikan yang pertama secara mental spiritual , dalam segi pembentukan kebripadian, nilai –nilai luhur moral dan agama sejak kelahirannya.
2. Sedangkan di lingkungan sekolah secara akademik konseptual merupakan sambungan yang dilanjutkan dan dikembangkan dengan berbagai macam materi pendidikan berupa ilmu daan ketrampilan ( life skills )
3. Beda di masyarakat, di lingkungan ini memiliki peran serta mengawasi, menyalurkan dan membina serta meningkatkan pendidikan itu.
4. Setiap pusat pendidikan dapat berpeluang memberikan kontribusi yang besar dalam ketiga kegiatan pendidikan, yakni:
1. pembimbingan dalam upaya pemantapan pribadi yang berbudaya
2. pengajaran dalam upaya penguasaan pengetahuan
3. pelatihan dalam upaya pemahiran keterampilan.














DAFTAR PUSTAKA

Slameto. 1991. Belajar dan Faktor - faktor yang Mempengaruhuinya. Jakarta : Rineka Cipta.
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati. 2001. Ilmu Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
Ki Hajar Dewantara. 1977. Bagian Pertama Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Rasyad, Aminuddin, M. Arifin. 1992. Dasar – dasar Pendidikan. Jakarta : Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Universitas Terbuka
Rohman, Arif. 2009. Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan. Yogyakarta : LaksBang Mediatama