Kamis, 08 April 2010

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pemaparan makalah ini menyajikan suatu gambaran bagaimana Pancasila sebagai dasar negara dalam perkembangannya secarta konstitutional dihadapkan situasi tidak kondusif sehingga kredibilitasnya diperdebatkan. Realita ini adalah akibat dari pemahaman dan penerapan Pancasila yang lepas dari asumsi - asumsi dasar filosofinya.
Berbagai sikap dilontarkan secara sinis justru ketika persatuan sangat kita butuhkan untuk mendasari pluralitas etnis dan keberagaman agama.
Makalah ini secara historis-konstektual mencermati latar belakang Pancasila sebagai dasar negara, tahapan perkembangan, dan penegasan makna revitalisasi
Atas dasar masalah yang diuraikan di atas makalah ini disusun. Disamping itu adalah untuk memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah ulumul hadis.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalah makalah ini akan membahas beberapa hal sebagai berikut :
1. Kapankah Kodifikasi Hadis Resmi dilaksanakan ?
2. Metode apa saja yang dilakukan untuk pengkodifikasi hadist ?
3. Adakah implikasi dari kegiatan pentadwinan hadis ini ?
1.3 Ruang Lingkup
Menjelaskan tentang Sejarah Kodifikasi Hadist dari abad Ke II, III, dan IV H dan perkembangannya.
1.4 Tujuan Penulisan
Tujuan merupakan ungkapan sasaran – sasaran yang ingim dicapai dalam makalah ini. Dan dalam makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui sejarah Pengkodifikasian hadits dan perkembanganya
2. Untuk mengetahui metode apa saja dalam pentadwinan hadis tersebut
3. Untuk mengetahui implikasi kegiatan pengkodifikasian hadis ini
4. Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ulumul Hadis.



BAB II
Asal Mula Pancasila

Asal mula Pancasila secara materil merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia, yaitu berupa nilai - nilai yang terkandung di dalam Pancasila; secara formal merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah pergerakan nasional yang berpuncak pada proklamasi kemerdekaan, yaitu berupa proses perumusan dan pengesahannya sebagai dasar filsafat NKRI.
Secara materil, nilai-nilai Pancasila bermula dari tradisi hidup-berdampingan (antar-yang-berbeda agama), toleransi umat beragama, persamaan haluan politik yang
anti-penjajahan untuk mencita - citakan kemerdekaan, gerakan nasionalisme, dan sebagainya. Yang kesemuanya telah hidup dalam adat, kebiasaan, kebudayaan, dan agama - agama bangsa Indonesia.
Secara formal, perumusan Pancasila disiapkan oleh BPUPKI (29 Mei s.d. 1
Juni 1945) dan disahkan oleh PPKI (18 Agustus 1945).
Asal mula Pancasila sebagai dasar filsafat negara dibedakan kedalam 3 hal :
(1) causa materialis, yaitu berasal dari dan terdapat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia sebelum proklamasi kemerdekaan,
(2) causa formalis dan finalis, yaitu terdapat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia sekitar proklamasi kemerdekaan,
(3) causa efisien, yaitu terdapat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan.
2.4 Masih Layakkah Pancasila ?
Pertanyaan menggelitik terkait dengan adalah masih layakah sebenarnya Pancasila dipertahankan ? Apakah ada alternatif lain selain pancasila yang lebih cocok untuk mengatur kehidupan bangsa indonesia yang Plural ini?
Kita tahu, upaya dalam rangka mencari ideologi yang sesuai untuk bangsa Indonesia tidak semudah membalik telapak tangan. Pancasila tidak secara instant di lahirkan namun lahirnya Pancasila telah melewati perdebatan panjang dan tidak jarang diwarnai dengan pertikaian sengit mengenai dasar apa yang cocok untuk Negara Indonesia yang mempunyai karakter plural ini.
Dicetuskannya Pancasila berangkat dari sebuah pertimbangan bahwa pancasila adalah satu-satunya idiologi yang lebih bisa mengakomodasi kepentingan seluruh kelompok yang ada dinegeri ini. Dengan Lima sila yang tercantum dalam pancasila menunjukan bahwa Pancasila telah mengutamakan kepentingan bersama mengingat bangsa Indonesia yang Plural ini. Dari realitas ini menjadi jelas bahwa lahirnya pancasila adalah sebagi upaya menjawab keragaman bangsa agar tidak timbul saling fitnah, bunuh, saling mengklaim kebenaran kelompok dan lain-lain, sehingga kekerasan, permusuhan dalam bentuk apapun akan dengan mudah di selesaikan.
Kita semua tahu perbedaan adalah rahmat, namun ketika perbedaan itu kemudian harus tereduksi menjadi sebuah alat untuk saling membunuh, memerangi lawan dan memfitnah musuh maka rahmatpun kemudian menjadi barang langka sehingga arogansi, kesombongan, kekerasan senantiasa menjadi hiasan dalam setiap perilaku kita sehari-hari.
2.1 Apa itu Revitalisasi ?
Kata re•vi•ta•li•sa•si berarti adalah proses, cara, perbuatan menghidupkan atau menggiatkan kembali. Revitalisasi yang arti harfiahnya “menghidupkan kembali”, maknanya bukan sekedar mengadakan/mengaktifkan kembali apa yang sebelumnya pernah ada, tetapi menyempurnakan strukturnya, mekanisme kerjanya, menyesuaikan dengan kondisi baru, semangatnya dan komitmennya.
Revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital / hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran / degradasi. Skala revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro. Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat).
menurut Laretna T. Adishakti dalam tulisannya mengatakan bahwa kegiatan konservasi bisa berbentuk preservasi dan pada saat yang sama melakukan pembangunan atau pengembangan, restorasi, replikasi, resontruksi, revitalisasi dan atau penggunaan untuk fungsi baru suatu aset masa lalu.Untuk melakukannya perlu upaya lintas sektoral, multi dimensi dan disiplin serta berkelanjutan.
Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada penyelesaian keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada.
Untuk melaksanakan revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat yang bukan hanya sekedar ikut serta untuk mendukung aspek formalitas yang memerlukan adanya partisipasi masyarakat, selain itu masyarakat yang terlibat tidak hanya masyarakat di lingkungan tersebut saja, tapi masyarakat dalam arti luas.
2.2 Benarkah Pancasila Harus Direvitalisasi
Revitalisasi Pancasila mendesak karena beberapa alasan Kita tahu Sejarah telah mencatat bahwa para founding fathers telah menggagas idiologi Pancasila dengan arah dan tujuan yang sangat jelas, yakni ingin menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa serta mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera.
Lalu apakah cita - cita tersebut sudah tercapai ? Tentu kita harus realistis dan jujur harus mengatakan bahwa bangsa Indonesia masih tetap terkungkung dalam ketidakberdayaan. sejak masa berlangsungnya ‘ Masa Reformasi ’, beberapa faktor pemersatu bangsa jelas mengalami kemerosotan.
Di era reformasi dan era global ini kita menyaksikan seakan - akan Pancasila begitu ‘hilang dari peredaran’, padahal ia sesungguhnya merupakan ideology bangsa/negara Indonesia yang terwujudkan sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, dasar negara kesatuan Republik Indonesia, dan tujuan negara/bangsa Indonesia.
‘Kehilangan’ ini tampak pada adanya dua fenomena, sebagai contoh, berikut:
1. Dalam berpraktek politik kenegaraan, yang menonjol kini adalah aktualisasi ideologi-ideologi-aliran/ideologi-ideologi-partisan yang ditunjukan oleh pribadi - pribadi, partai-partai politik, ormas-ormas, daerah-daerah, dan lain sebagainya. Mereka cenderung mendahulukan kepentingan pribadi, kelompok, golongan, atau
daerah daripada kepentingan bangsa dan negara untuk bersama-sama mengatasi
krisis bangsa yang multidimensional.
2. Dalam berpraktek ekonomi nasional, yang menonjol kini adalah aktualisasi jualbeli uang, lobi bisnis politik-uang, perebutan jabatan publik ekonomis, dan lain sebagainya yang ditunjukan oleh para konglomerat, para pialang saham (baik pemain domestik maupun internasional), para politisi/partisan partai politik, atau yang lainnya yang seringkali mengabaikan kepentingan yang lebih luas, lebih besar, dan lebih jauh ke depan untuk kepentingan bangsa dan negara.
Cita - cita reformasi untuk bisa mengubah nasib rakyat pun semakin jauh panggang dari pada api, wajar kalau kemudian masyarakat sekarang begitu apatis dengan jalannya pemerintahan mengingat elit - elit politik baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif belum secara serius dan tanggung jawab melaksanakan amanat rakyat dan mereka hanya bisa mengumbar janji - janji manis terhadap rakyat fakta mengatakan bahwa Reformasi hanya dinikmati oleh segelintir elit yang berada dalam lingkaran dan jaring – jaring kekuasaan.
Ada serangkaian aksi yang tidak lagi mengindahkan prosedur hukum yang telah ditetapkan dalam Undang - Undang. Pada satu sisi, beberapa kelompok masyarakat begitu garangnya bertindak dengan menggunakan kekerasan dalam upaya merespon kelompok lain yang berbeda pendapat. Pada sisi yang lain instrument Negara seperti POLRI masih terkesan lalai dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai alat pelindung masyarakat dan cenderung cuek ketika tugas - tugas mereka diambil alih oleh sipil ( Paramiliter) yang selama ini marak terjadi di negeri ini.
Negara - bangsa yang berpusat di Jakarta semakin berkurang otoritasnya; sentralisme sebaliknya digantikan dengan desentralisasi dan otonomisasi daerah. Dalam hal terakhir ini kita menyaksikan bangkitnya sentimen provinsialisme dan etnisitas yang cenderung mengabaikan kepentingan dan integrasi nasional.
Pada saat yang sama, penghapusan kewajiban asas tunggal Pancasila yang diberlakukan sejak 1985, yang diikuti liberalisasi politik dengan sistem multipartai, juga menghasilkan berbagai ekses. Fragmentasi politik, baik di tingkat elite dan akar rumput terus berlanjut, dan cenderung disintegratif mengakibatkan adanya liberalisasi asas dengan munculnya berbagai halauan ideologi yang kesemuanya menghilangkan yang sering berakhir dengan lenyapnya keadaban publik ( public civility ),. Kelompok - kelompok masyarakat yang berhalauan agama rentan terhadap perpecahan, ini menunjukkan ideologi selain Pancasila tidak dapa mempersatukan semua keberadaan itu sehingga kelangsungan kehidupan bangsa cenderung disintegratif
Pada saat yang sama juga , liberalisasi politik berbarengan dengan kegagalan negara menegakkan hukum, memberikan momentum bagi menguatnya religious -based ideologies, yang cenderung divisif, karena adanya berbagai aliran pemikiran, mazhab, dan semacamnya di dalam agama.
Bisa disaksikan, parpol - parpol yang berlandaskan agama -- baik Islam maupun Kristen -- terus rentan pada perpecahan; landasan agama tidak mampu mengatasi perbedaan - perbedaan yang berimpitan dengan kontestasi pengaruh dan kekuasaan. Pada saat yang sama, terlihat pula peningkatan berbagai kelompok masyarakat yang bergerak atas religious - based ideologies dan atas nama agama.
Yang tak kurang pentingnya adalah serbuan globalisasi, yang tidak hanya menimbulkan disorientasi dan dislokasi sosial, tetapi juga bahkan mengakibatkan memudarnya identitas nasional dan bahkan jati diri bangsa. Globalisasi yang sesungguhnya juga punya nilai positif, sebaliknya justru lebih banyak menimbulkan ekses negatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara..
Pada sisi yang lain revitalisasi juga merupakan bentuk penyadaran bagi masyarakat bahwa kita hidup di Indonesia yang sangat plural dalam berbagai hal tidak hanya agama, bahasa maupun budaya. Hal ini menjadi penting mengingat pancasila sebagai ideology bangsa, telah mulai dilupakan oleh masyarakat
Maraknya aksi - aksi dengan mengatasnamakan agama serta tafsir tunggal kebenaran yang hanya dimiliki kelompok tertentu adalah upaya untuk mendorong pemarginalan terhadap Pancasila dan yang lebih ekstrim pemusnahan Pancasila sebagai sebuah Idiologi.
Kita tahu Pancasila adalah alat permersatu bangsa. Claim of truth (Klaim kebenaran ) kelompok dengan menjudge bahwa hanya kelompok tertentu yang paling benar dan paling mempunyai hak untuk hidup dan berkuasa di bumi ini adalah merupakan tindakan konyol dan jelas - jelas bertentangan tidak hanya dengan nila - nilai yang tekandung dalam pancasila namun juga bertentangan dengan ajaran agama.
Sangat beralasan manakala hal ini dapat kita lihat dari kenyataan bahwa dorongan untuk memaksakan kebenaran lewat aksi - aksi anarkis menunjukan bahwa mereka kurang memahami dan menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila.
Contohnya saja Pada tanggal 1 Juni 2008, sebuah tragedi mengenaskan kembali terjadi di bumi Indonesia dimana bertepatan dengan peringatan hari lahir Pancasila, bentrokan yang membawa korban luka masa Aliansi Kebangsan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB) dengan masa Front Pembela Islam tak terhindarkan. Peristiwa yang terjadi di MONAS tersebut menuai banyak protes dari berbagai kalangan dimana pada umumnya kelompok - kelompok yang mendukung aksi AKBB ini mengecam keras tindakan anarkis yang di lakukan FPI. Hal lain yang lebih tragis lagi adalah peristiwa ini terjadi disaat masa AKBB mau memperingati hari lahir pancasila, sehingga tindakan kekerasan yang dilakukan oleh FPI dinilai menciderai nilai - nilai pancasila yang menjunjung tinggi perbedaan dalam bingkai persatuan. .
Upaya untuk membubarkan Jamaâah Ahmadiyah dari bumi Indonesia disertai dengan aksi-aksi anarkis seperti penyerbuan dan penghancuran masjid milik Jamaah ini seperti AKSI pembakaran Masjid Al-Furqon di Kabupaten Sukabumi beberapa waktu lalu adalah contoh real dimana perbedaan dianggap sebagai musuh kelompok - kelompok tertentu. Ini adalah fakta riil dimana kelompok ini kurang bisa mengahargai perbedaan, apalagi di barengi dengan tindakan anarkis yang jelas-jelas bertentangan dengan falsafah dan nilai-nilai luhur pancasila.
Mereka beranggapan bahwa kebenaran hanya dimiliki oleh segelintir kelompok, sehingga mereka tidak pernah berfikir bahwa sesungguhnya benar menurut mereka belum tentu benar untuk kelompok yang lain. Hal ini menunjukan bahwa mereka tidak lagi berpijak pada idiologi Pancasila sebagai sebuah perspektif untuk melihat persoalan yang ada karena mereka tidak mengakui eksistensi kelompok yang lain yang berbeda.
2.3 Apa kata Mereka
1. Cornelis Lay, pengamat politik dan pengajar dari UGM
Beliau hanya menekankan bahwa perdebatan apakah Pancasila itu sebuah ideologi atau tidak, mestinya sudah usai. Secara teori, Pancasila memenuhi syarat sebagai sebuah ideologi. Tinggal bagaimana penerapannya dalam kehidupan sehari - hari. dengan menjalankan tidak menggunakan parameter - parameter kesukuan atau ikatan primordial lainnya.
Misalnya yang dilakukannya sehari - hari, dalam mengoreksi ujian mahasiswa, maka dia hanya memberi nilai sesuai jawaban yang diberikan. Cornelis menyatakan dia menutup mata soal latar belakang mahasiswanya, entah itu terkait soal suku, agama, aktivis dll. Kalau dia aktivis tapi nilainya jelek, ya tetap diberi jelek.
2. Faisal Basri, pengamat ekonomi sekaligus ketua Organisasi Pergerakan Indonesia Yogyakarta
Sementara Faisal Basri mengritik UUD saat ini yang masih jauh dari sempurna. UUD 1945 waktu dibuat dalam keadaan darurat dan hanya dibuat oleh segelintir orang. Namun sampai sekarang masih dipakai, walau ada penambahan sana sini. bagi Faisal Basri, konstitusi yang sekarang belum sempurna, perlu ada perubahan yang menyerap aspirasi seluruh rakyat.
3. KH. Abdul Muhaimin, pimpinan pondok pesantren di Bantul dan ketua Forum Persaudaraan Umat Beriman
Kisah menarik muncul dari KH Abdul Muhaimin. Dia memberi illustrasi kondisi pesantrennya, yang santrinya berasal dari berbagai macam daerah. “ Bahasa Jawa, ayam itu ditulis pitik. Tapi orang Jawa Timur akan melafalkannya : petek. Jogja-Solo beda lagi, akan mengucapkan pitek dan orang Banyumas beda lagi mengucapkannya : pitik.
Pak Kyai ini mau menggambarkan kalau Indonesia itu penuh dengan keberagaman. Dia berharap Pancasila tidak lagi dimaknai tunggal, seperti dalam Penataran P4 dulu, tapi biarlah masing - masing daerah mempunyai keunikan masing - masing, dalam nafas yang sama yaitu Pancasila.

2.4 Langkah Pancasila Direvitalisasi
Merevitalisasi Pancasila adalah sebuah keniscayaan mutlak ketika kondisi bangsa semakin jauh dari keadilan sosial, kemakmuran, kemajuan dan lain sebagainya. Membiarkan kondisi bangsa dalam keterpurukan sama halnya kita sengaja menjadikan Pancasila hanya sebagai alat politisasi untuk melanggengkan kekuasaan seperti yang pernah terjadi pada masa Orde baru dibawah pemeritahan Soeharto.
Kita tahu, ‘Orde Baru’ telah memperlakukan Pancasila ibarat Rahwana mengambil-alih Sita selama bertahun-tahun. Analogi dari epos Ramayana ini tak sepenuhnya tepat, tapi seperti Sita setelah kembali dibebaskan oleh Rama, Pancasila di mata orang banyak, terutama bagi mereka yang tertekan, setelah ‘Orde Baru’ runtuh, seakanakan bernoda: ia tetap dikenang sebagai bagian dari lambang kekuasaan sang Rahwana. Tapi kita tahu, kesan itu tak benar dan tak adil – sama tak benar dan tak adilnya ketika Rama meletakkan Sita dalam api pembakaran untuk membuktikan kesuciannya.
Perevitalisasikan Pancasila sebagai dasar negara kita berpedoman pada wawasan :
1. Spiritual, untuk meletakkan landasan etik, moral, religius sebagai dasar dan arah pengembangan profesi
2. Akademis, menunjukkan bahwa Pancasila adalah aspek being, tidak sekedar aspek having
3. Kebangsaan, menumbuhkan kesadaran nasionalisme
4. Mondial, menyadarkan manusia dan bangsa harus siap menghadapi dialektikanya perkembangan dalam mayaraka dunia yang “ terbuka ”.
Sehubungan dengan hal tersebut, revitalisasi Pancasila dilakukan dalam dua tingkatan, yaitu pada tataran ide dan praksis.
• Dalam tataran ide, hal yang paling penting dilakukan adalah menjawab sikap alergi masyarakat terhadap Pancasila
Karena itu, gotong royong dan musyawarah bisa menjadi cara bagi representasi Pancasila. Gotong royong dan musyawarah juga bisa dijadikan sumber dalam rangka revitalisasi Pancasila.
• Dalam tataran praksis, utamanya menyangkut relasi penyelenggaraan negara dan masyarakat, revitalisasi Pancasila harus dimulai dengan membangkitkan kegairahan dan optimisme publik. Misalnya, kepemimpinan nasional harus menegaskan kembali bahwa NKRI adalah bukan negara agama. Kepemimpinan nasional harus menegaskan kembali bahwa Indonesia adalah negeri yang kebebasannya berlandaskan Bhineka Tunggal Ika.
Revitalisasi Pancasila mutlak untuk dilakukan jika tidak ingin ada kehancuran di Negara yang kita cintai ini. Ada beberapa hal yang perlu kita lakukan.
1. penanaman nilai-nilai Pancasila pada generasi mulai usia anak-anak secara kontinyu sampai mereka dewasa.
2. menjadikan pancasila sebagai satu-satunya asas dalam segala hal sehingga akan terekonstruksi kembali pemahaman tentang Pancasila.
3. menjadikan isu Pancasila sebagai kendaraan Politik menuju kekuasaan, karena dengan hal tersebut kemurnian Pancasila sebagai dasar negara akan hilang.
4. yang terakhir pemerintah hendaknya mempunyai pemikiran - pemikiran kembali untuk menanamkan nilai - nilai Pancasila kepada semua lapisan masyarakat dengan formula baru dan disesuaikan dengan perkembangan jaman sehingga penjabaran Pancasila dapat dimengerti, dipahami dan dilaksanakan oleh semua lapisan masyarakat.
Itulah refleksi tentang perlunya revitalisasi Pancasila, semoga dapat menjadi pelajaran kita semua dan besar harapan semoga Pancasila terefleksi dengan kuat dalam jiwa kita masing - masing.
Lebih jauh, Pancasila adalah solusi alternatif bagi terwujudnya NKRI, yang telah teruji semenjak masa kemerdekaan sampai dengan masa reformasi. Meskipun kita juga tidak bisa menafikan bahwa dalam perjalanannya ada berbagai macam cobaan dan tantangan yang senastiasa datang dan mengiringi dalam setiak gerak dan langkah dinamika bangsa ini. Hal lain yang penting untuk dicatat bahwa lembaran sejarah yang pernah terukir terkait dengan upaya untuk merongrong eksistensi Pancasila selalu dapat di selesaikan meskipun dalam upaya mempertahankannya tidak jarang jatuh korban dan ribuan nyawa melayang.
Contoh kecil pergolakan yang terjadi terkait dengan masalah ini adalah Pemberontakan Komunis atau PKI dan Darul Islam /DI TII, Permesta dan yang lain. Seluruh pergolakan ini pada dasarnya ingin mengganti ideologi pancasila dengan ideologi lain seperti komunisme maupun Islam. Alhasil, dengan semangat persatuan dan kesatuan terbukti upaya mengganti pancasila selalu mengalami kegagalan. Hal ini menunjukan bahwa Pancasila adalah ideologi yang tidak ada bandinganya untuk bangsa Indonesia karena Pancasila adalah alat permersatu bagi seluruh komponen yang berbeda - beda sehingga setiap upaya untuk menggatinya selalu akan berhadapan dengan seluruh kekuatan Indonesia secara menyeluruh yang telah terpatri sejak periode kemerdekaan.
MAKNA REVITALISASI PANCASILA
Revitalisasi Pancasila sebagai dasar negara mengandung makna bahwa Pancasila harus diletakkan utuh dengan pembukaan, di-eksplorasi-kan dimensi - dimensi yang melekat padanya, yaitu :
Realitasnya: dalam arti bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dikonkretisasikan sebagai kondisi cerminan kondisi obyektif yang tumbuh dan berkembang dlam masyarakat, suatu rangkaian nilai-nilai yang bersifat sein im sollen dan sollen im sein.
Idealitasnya: dalam arti bahwa idealisme yang terkandung di dalamnya bukanlah sekedar utopi tanpa makna, melainkan diobjektivasikan sebagai “ kata kerja ” untuk membangkitkan gairah dan optimisme para warga masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif, menuju hari esok lebih baik.
Fleksibilitasnya: dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang sudah selesai dan mandeg dalam kebekuan oqmatis dan normatif, melainkan terbuka bagi tafsir-tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan zaman yang berkembang. Dengan demikian tanpa kehilangan nilai hakikinya, Pancasila menjadi tetap aktual, relevan serta fungsional sebagai tiang-tiang penyangga bagi kehidupan bangsa dan negara dengan jiwa dan semangat “ Bhinneka tunggal Ika ”
Revitalisasi Pancasila sebagai dasar negara harus diarahkan pada pembinaan moral, sehingga moralitas Pancasila dapat dijadikan sebagai dasar dan arah dalam upaya mengatasi krisis dan disintegrasi. Moralitas juga memerlukan hukum karena keduanya terdapat korelasi. Moralitas yang tidak didukung oleh hukum kondusif akan terjadi penyimpangan, sebaliknya, ketentuan hukum disusun tanpa alasan moral akan melahirkan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila
Bangsa Indonesia dihadapkan pada perubahan, tetapi tetap harus menjaga budaya - budaya lama. Sekuat- kuatnya tradisi ingin bertahan, setiap bangsa juga selalu mendambakan kemajuan. Setiap bangsa mempunyai daya preservasi dan di satu pihak daya progresi di lain pihak. Kita membutuhkan telaah - telaah yang kontekstual, inspiratif dan evaluatif.
Sudah saatnya Pemerintah mempunyai Good - will sebagai upaya responsif atas persoalan kebangsaan yang melanda akhir - akhir ini. Implementasi good will ini tentunya tidak menjadikan rakyat Indonesia sebagai tumbal untuk mengamankan Negara bersama kepentingan kelompok - kelompok kecil di lingkaran kekuasaan
Revitalisasi tentu suatu upaya sistematis dalam rangka kembali membangun spirit nasionalisme yang selama ini telah mengalami kemunduran sehingga seluruh persoalan kebangsaan seperti konflik etnis, agama, serta permasalahan dalam apapun bentuknya bisa dengan mudah teratasi. Ini menjadi agenda penting yang harus seceptanya dilakukan ketika semangat persatuan menjadi barang langka di negeri ini.


BAB III PENUTUP
Kesimpilan

Dalam kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara yang sedang dilanda oleh arus krisis dan disintegrasi maka Pancasila tidak terhindar dari berbagai macam gugatan, sinisme, serta pelecehan terhadap kredibilitasnya. Namun perlu kita sadari bahwa tanpa adanya “platform” dalam dasar negara atau ideologi maka suatu bangsa mustahil akan dapat bertahan dalam menghadapi berbagai tantangan dan ancaman.
Melalui revitalisasi inilah Pancasila dikembangkan dalam semangat demokrasi yang secara konsensual akan dapat mengembangkan nilai praksisnya yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang serba pluralistik. Selain itu melestarikan dan mengembangkan Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana telah dirintis dan ditradisikan oleh para pendahulu kita semenjak tahun 1908, merupakan suatu kewajiban etis dan moral yang perlu diyakinkan kepada wni sekarang.
Kini kita membutuhkan Pancasila kembali karena ia merupakan rumusan yang ringkas dari ikhtiar bangsa kita yang sedang meniti buih untuk dengan selamat Mencapai persatuan dalam perbedaan. Dengan kata lain, kita Membutuhkan Pancasila kembali untukmengukuhkan, bahwa kita mau tak mau perlu hidup dengan sebuahpandangan dan sikap yang manusiawi – yang mengakui peliknya hidup bermasyarakat.
Kata Bung Karno, tak ada sebuah negara yang hidup yang tak mengandung ‘kawah Candradimuka’ yang ‘mendidih’ di mana pelbagai ‘faham’ beradu di dalam badan perwakilannya. Tak ada sebuah negara yang dinamis ‘kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya’.
Kita membutuhkan Pancasila kembali karena kita perlu bicara yakin kepada mereka yang mendadak merasa lebih tinggi ketimbang sebuah Republik yang didirikan dengan darah dan keringat berbagai penghuninya – Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, ataupun atheis -- perjuangan yang lebih lama ketimbang 60 tahun.
Kita membutuhkan Pancasila kembali karena ia merupakan proses negosiasi terus menerus dari sebuah bangsa yang tak pernah tunggal, tak sepenuhnya bisa ‘eka, dan tak ada yang bisa sepenuhnya meyakinkan bahwa dirinya, kaumnya, mewakili sesuatu yang Maha Benar



DAFTAR PUSTAKA

Al – munawar, Said agil. 2004. Al qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta : Ciputat Press
Azami, Muhammad Musthafa., 1994. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (terjemahan Ali Mustafa Yaqub), , Jakarta : Pustaka Firdaus Kodifikasi Hadis: Sebuah Telaah Historis http://uin-suka.info/ejurnal Powered by Joomla! Generated: 16 February, 2010, 16:01
Hasan ar-Rahmânî , Abdul Ghoffâr. 2007. Pengantar Sejarah Tadwîn (Pengumpulan) Hadîts Sumber : http://www cl earpath com
Supatra Munzier. 2006. Ilmu Hadis. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Ulama ’i , A.Hasan Asy ’ari. Sejarah dan Tipologi Syarah Hadis.
Yuslem Nawir. 2001. Ulumul Hadits. Jakarta : PT. Mutiara sumber Widyia
www. N 47 VW blogpot .com
20 maret 2010

Kreator lambang NKRI yang Terlupa


Sepanjang orang Indonesia, siapa tak kenal burung Garuda berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila). Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa pembuat lambang negara itu dulu? Sultan Hamid II yang terlahir dengan nama ' Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie (lahir di Pontianak, Kalimantan Barat, 12 Juli 1913 – meninggal di Jakarta, 30 Maret 1978 pada umur 64 tahun) adalah Perancang Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila. Dalam tubuhnya mengalir darah Arab-Indonesia -- walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak --keduanya sekarang di Negeri Belanda. Syarif menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.
Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan - perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.
Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.
Sultan Hamid II dalam percakapan dengan Ida Anak Agung Gde Agung, raja Gianyar (tahun 1949) Pada 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan “ over commando ” kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA. Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalbar - karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL.
Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat marah.
Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara.
Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ngabehi Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “ Bung Hatta Menjawab ” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar - sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.
Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang ( Sultan Hamid II ), Presiden RIS Soekarno dan PM Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika".
Pada tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali - Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri.
AG Pringgodigdo dalam bukunya “ Sekitar Pancasila ” terbitan Departemen Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “ gundul ” dan “' tidak berjambul ”' seperti bentuk sekarang ini.
Inilah karya kebangsaan anak - anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes, Jakarta pada 15 Februari 1950.
Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “ gundul ” menjadi “ berjambul ” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno.
Tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk akhir rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.
Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. Rancangan terakhir inilah yang menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 Jo Pasal 6 PP No 66 Tahun 1951 Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah, Pontianak. . Sultan Hamid II diberhentikan pada 5 April 1950 akibat diduga bersengkokol dengan Westerling dan APRA-nya
Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan berkas dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ ide perisai Pancasila ” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.
Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.
Turiman SH M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak yang mengangkat sejarah hukum lambang negara RI sebagai tesis demi meraih gelar Magister Hukum di Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa hasil penelitiannya tersebut bisa membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah perancang lambang negara. “ Satu tahun yang melelahkan untuk mengumpulkan semua data. Dari tahun 1998-1999,” akunya.
Yayasan Idayu Jakarta, Yayasan Masagung Jakarta, Badan Arsip Nasional, Pusat Sejarah ABRI dan tidak ketinggalan Keluarga Istana Kadariah Pontianak, merupakan tempat-tempat yang paling sering disinggahinya untuk mengumpulkan bahan penulisan tesis yang diberi judul Sejarah Hukum Lambang Negara RI (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan). Di hadapan dewan penguji, Prof Dr M Dimyati Hartono SH dan Prof Dr H Azhary SH dia berhasil mempertahankan tesisnya itu pada hari Rabu 11 Agustus 1999. “ Secara hukum, saya bisa membuktikan. Mulai dari sketsa awal hingga sketsa akhir. Garuda Pancasila adalah rancangan Sultan Hamid II,” katanya pasti.
HE IS MY CONTRY HEROES
MAKALAH ILMU PENDIDIKAN
LINGKUNGAN PENDIDIKAN
Disusun sebagai tugas mata kuliah Ilmu Pendidikan
Dosen Pengampu :
Ahmad Fauzi, M.ag














PENYUSUN :
Nur Laili Hidayatu Zulfa
Binti Umayah
Imro’atus Sholihah
M. Badi’ Umnu Sabi’
Muh. Ikhsanur Rizal

PROGRAM S1 PAI
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
“ AL – MUSLIHUUN “
TLOGO - KANIGORO - BLITAR
TAHUN 2010











Kata Pengantar

Alhamdulillah, segala puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas karunia - Nya lah kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah Ilmu pendidikan Islam ini.
Sholawat salam semoga tetap terlimpakahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang akan selalu dan selalu kita harapkan syafa’atnya sampai akhir nanti.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam semester II tingkat 1.
Harapan kami, kiranya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca untuk dijadikan sebagai bahan referensi dalam wacana pendidikan.
Akhir kata, tak ada gading yang tak retak. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami dengan senang hati akan menerima kritik dan saran yang konstruktif untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.


Blitar, 01 April 2010

Tim penyusun Tim Lima












Daftar Isi

Halaman judul.................................................................................. I
Kata Pengantar ................................................................................ II
Daftar Isi ........................................................................................ III

BAB I
PENDAHULUAN.............................................................................1
BAB II
LINGKUNGAN PENDIDIKAN........................….....................…..2
BAB III
PENUTUP.........................................................................................8
Daftar Pustaka ..................................................................................9
















BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pendidikan bagi kehidupan manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus segera dipenuhi. Tanpa peranan pendidikan sama sekali mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan mimpi dan cita –cita untuk sejahtera maju dan bahagia menurut konsep dan pandangan hidup mereka.
Menyikapi hal itulah, maka perlu sekali pendidikan itu menjadi poin terdepan untuk dikelola secara sistematis, efektif dan efisien serta konsisten yang didasarkan oleh berbagai sudut pandang teoretikal dan praktikal sepanjang itu sesuai dengan lingkungan manusia itu sendiri.
Lingkungan pendidikan merupakan salah satu unsur di dalam pendidikan sebagai sebuah system.Untuk penyelenggaraan pendidikan dan pencapaian tujuan pendidikan yang maksimal lingkungan pendidikan yang aman nyaman dan kondusif apalagi yang edukatif tentunya sangatlah amat berpengaruh sekali. Pembahasan lingkungan pendidikan pada dasarnya juga membahas hubungan serta pengaruh pendidikan dan lingkungannya. Disamping itu juga makalah ini untuk memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah Ilmu pendidikan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalah makalah ini mencakup beberapa permasalahan dari Ilmu Pendidikan yaitu sebagai berikut :
1. Apakah pengertian lingkungan pendidikan itu ?
2. Ada beberapa macamkah lingkungan Pendidikan itu ?
3. Apa saja hubungan di antara tripusat pendidikan tersebut?
1.3 Ruang Lingkup
Menjelaskan tentang Lingkungan Pendidikan dan seluk beluknya
1.4 Tujuan Penulisan
Tujuan merupakan ungkapan sasaran – sasaran yang ingim dicapai dalam makalah ini. Dan dalam makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut
1. Mengetahui tentang pengertian Lingkungan Pendidikan
2. Mengetahui beberapa macam Lingkungan Pendidikan dan hubungannya
3. Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam
BAB II
LINGKUNGAN PENDIDIKAN
2.1 Pengertian Lingkungan
Lingkungan dalam pengertian umum, berarti mencakup hal –hal di sekililing kita, yang kita terkait kepadanya secara langsung mauun tidak langsung yang hidup dan kegiatan kita berhubungan dan tergantung padanya Menurut Sartain (ahli psikologi Amerika), yang dimaksud lingkungan itu adalah meliputi kondisi dan alam dunia ini yang dengan cara - cara tertentu mempengaruhi tingkah laku kita, pertumbuhan, perkembangan atau life processes. Lingkungan adalah sesuatu yang berada di luar batasan-batasan kemampuan dan potensi genetik seseorang dan ia berperan dalam menyiapkan fasilitas-fasilitas atau bahkan menghambat seseorang dari pertumbuhan.
Dalam literatur pendidikan, Lingkungan pendidikan biasanya disamakan dengan institusi atau lembaga pendidikan. Menurut Muhammad Kosim LA, MA ” Lingkungan pendidikan adalah suatu institusi atau kelembagaan dimana pendidikan tersebut berlangsung yang keberadaannya akan mempengaruhi proses pendidikan tersebut berlangsung,
Meskipun lingkungan tidak bertanggung jawab terhadap kedewasaan anak didik, namun merupakan faktor yang sangat menentukan yaitu pengaruhnya yang sangat besar terhadap anak didik, sebab bagaimanapun anak tinggal alam satu lingkungan yang disadari atau tidak pasti akan mempengaruhi anak.
Dalam lapangan pendidikan, arti lingkungan itu luas sekali, yaitu segala sesuatu yang berada di luar diri anak, dalam alam semesta kita. Lingkungan ini mengitari manusia sejak manusia dilahirkan sampai dengan meninggalnya.
Antara lingkungan dan manusia ada pengaruh yang timbal balik, artinya lingkungan mempengaruhi manusia, dan sebaliknya, manusia juga mempengaruh lingkungan di sekitamya. Lingkungan sekitar yang dengan sengaja digunakan sebagai alat dalam proses pendidikan dan juga sebagai tempat mendapatkan pendidikan disebut dengan lingkungan pendidikan
Secara umum fungsi lingkungan pendidikan adalah membantu peserta didik dalam interaksi dengan berbagai lingkungan sekitarnya, utamanaya berbagai sumber daya pendidikan yang tersedia, agar dapat mencapai tujuan pendidikan yang optimal.
2.2 Macam – macam Lingkungan pendidikan
Lingkungan pendidikan sangat dibutuhkan dalam proses pendidikan, sebab lingkungan pendidikan tersebut berfungsi menunjang terjadinya proses KBM Kegiatan Belajar Mengajar secara aman, nyaman, tertib, dan berkesinambungan. Dengan suasana tersebut, maka proses pendidikan dapat diselenggarakan menuju tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan.
A. Lingkungan Keluarga
Bagi kebanyakan anak, lingkungan keluarga merupakan lingkungan pengaruh inti, setelah itu sekolah dan kemudian masyarakat. Keluarga dipandang sebagai lingkungan dini yang dibangun oleh orang tua dan orang - orang terdekat. Pendidikan ini berlangsung tanpa organisasi, yakni tanpa orang tertentu yang diangkat atau ditunjuk sebagai pendidik, tanpa suatu program yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu, tanpa evaluasi yang formal berbentuk tujuan.
Dalam bentuknya keluarga selalu memiliki kekhasan. Setiap keluarga selalu berbeda dengan keluarga lainnya. Ia dinamis dan memiliki sejarah “ perjuangan, nilai - nilai, kebiasaan ” yang turun temurun mempengaruhi secara akulturatif (tidak tersadari).
Sebagaian ahli menyebutnya bahwa keluarga merupakan miniatur dan pada masyarakat dan kehidupannya, maka pengenalan kehidupan keluarga sedikit atau banyak pasti akan memberi warna pada pandangan anak terhadap hidup bermasyarakat. Dan juga corak kehidupan pergaulan di dalam keluarga akan ikut menentukan atau mempengaruhi perkembangan diri anak
Bahkan Bapak Pendidikan, RM. Soewardi Suryaningrat atau lebih dikenal dengan sebutan Ki Hajar Dewantara, menyebutkan bahwa keluarga itu bagi tiap – tiap orang adalah alam pendidikan permulaan. Orang tua sebagai pendidik, dan si anak sebagai anak didik. Oleh karena tu , keluarga mesti dan harus menciptakan suasana yang edukatif agar tujuan pendidikan tercapai.
Pengaruh keluarga amat besar dalam pembentukan pondasi kepribadian anak. Keluarga yang gagal membentuk kepribadian anak biasanya adalah keluarga yang penuh konflik, tidak bahagia, tidak solid antara nilai dan praktek, serta tidak kuat terhadap nilai-nilai baru yang rusak. Lebih jelasnya, kepribadian anak tergantung pada pemikiran dan tingkah laku kedua orang tua serta lingkungannya.
Keluarga sendiri bagi anggotanya memiliki fungsi:
1. Proteksi ( Perlindungan )
2. Rekreasi
3. Inisiasi ( Perkenalan )
4. Sosialisasi ( Pewaris nilai – nilai dan norma )
5. Edukasi ( Belajar )
Sedangkan Keluarga sebagai kawah candra dimuka pendidikan anak memiliki beberapa tujuan :
1. Sebagai pengalaman pertama masa kanak – kanak
2. Menjamin kehidupan emosional anak
3. Menanamkan dasar pendidikan mora
4. Memberikan dasar pendidikan sosial.
5. Meletakkan dasar - dasar pendidikan agama bagi anak-anak.
Beberapa faktor yang nantinya hal ini bisa mendukung agar dalam lingkungan keluarga itu dapat menjadi lingkungan yang edukatif. adalah faktor sosial ekonomi keluarga, faktor keutuhan keluara, dan yang terakhir adalah sikap dan kebiasaan orang tua.
B. Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan lembaga formal sangat menentukan membentuk kepribadian anak yang maksimal. Sering juga sekolah disebut lembaga pendidikan kedua yang berperan dalam pendidikan.
Hal ini cukuplah beralasan , mengingat sekolah merupakan tempat khusus dalm menuntut ilmu penetahuan. Sekolah yang telah memberikan lingkungan yang menunjang bagi kesuksesan pendidikan maka sekolah itu secara langsung dan tidak langsung memberikan sentuhan perlakuan kepada anak. Lingkungan sekolah yang sehat diyakini dapat memberikan rasa nyaman dan meningkatkan kualitas belajar mengajar, sehingga mampu meningkatkan minat belajar siswa dan mendorong siswa untuk meraih prestasi
Disebut sekolah bilamana dalam pendidikan tersebut diadakan di tempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai perpanjangan dan dalam kurun waktu tertentu, berlangsung mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, dan berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan.
C. Lingkungan Masyarakat
Menurut kodratnya manusia adalah makhluk masyarakat . Manusia selalu hidup bersama dan berada di tengah – tengah manusia yang lain untuksaling berinteraksi. Keadaan ini terjadi karena dalam diri manusia terdapat dorongan untuk hidup bermasyarakat di samping adanya juga dorongan keakuan.
Masyarakat bila dilihat dari konsep sosiologi adalah sekumpulan manusia yang bertempat tinggal dalam suatu kawasan dan saling berinteraksi sesamanya untuk mencapai tujuan. Secara kualitatif dan kuantitatif, anggota masyarakat terdiri dari anggota keluarga yang heterogen ( majemuk ).
Dalam konteks pendidikan, Masyarakat adalah sekumpulan banyak orang dengan berbagai ragam kualitas diri mulai dari atas sampai bawah. Ia adalah Laboratorium besar tempat para anggotanya mengamalkan apa yang dimilikinya. masyarakat merupakan lingkungan - lingkungan keluarga dan sekolah. Pendidikan yang dialami dalam masyarakat ini, telah mulai ketika anak-anak untuk beberapa waktu setelah lepas dari asuhan keluarga dan berada di luar dari pendidikan sekolah. Dengan demikian, berarti pengaruh pendidikan tersebut tampaknya lebih luas.
Corak dan ragam pendidikan yang dialami seseorang dalam masyarakat banyak sekali, ini meliputi segala bidang, baik pembentukan kebiasaan -kebiasaan, pembentukan pengertian - pengertian (pengetahuan ), sikap dan minat, maupun pembentukan kesusilaan dan keagamaan
Masyarakat sebagai lembaga pendidikan non formal, juga menjadi bagian penting proses pendidikan , tetapi tidak terikat peraturan – peraturan tertentu yang ketat dan tetap. Masyarakat yang terdiri dari kelompok atau beberapa individu yang beragam akan mempengaruhi proses pendidikan. Entah itu berdampak positif ataupun berdampak sebaliknya.
Mengingat pentingnya peran masyarakat sebagai pendidikan , maka setiap individu sebagi anggota masyarakat haruslah menciptakan suasana yang aman dan nyaman demi keberlangsungan proses pendidikan yang ada di dalamnya.
Lalu bagaimanakah ciri – ciri lingkungan masyarakat yang baik dan edukatif ?
Tentunya, lingkungan masyarakat yang baik memiliki ciri dapat mendorong peserta didik atau anak untuk bisa maju menjadi lebih baik.
Di negara kita Indonesia sendiri dikenal adanya konsep pendidikan berbasis masyarakat (COMMUNITY BASID EDUCATION ) sebagai upaya untuk pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Bisa disebut masyarakat ini adalah masyarakat yang warganya belajar ( Masyarakat Pembelajar ). Ciri – cirinya yang menonjol adalah memiliki budaya baca, menulis, dan bertanya serta bermoral. Meskipun konsep ini sering dikaitkan dengan lembaga pendidikan formal ( sekolah ), namun konsep ini menunjukkan bahwa kepedulian masyarakat sangat dibutuhkan sekali.





2.3 Hubungan Timbal balik tri pusat pendidikan







.


Keterangan :
Dari bagan ini dapat kita perhatikan bahwa keterpaduan dan kesatubahasaan antara 3 lingkungan pendidikan bias dipastikan tujuan pendidikan tersebut akan mudah tercapai.
Ketiga sudut segitiga dalam lingkaran itu menggambarkan upaya maksimal yang dterus diupayakan oleh masing – masing Lingkungan pendidikan melalui kerja sama yang terpadu. Sedangkan lingkaran itu menunjukkan bahwa secara fungsional mereka bertanggung jawab akan pendidikan peserta didik.









BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Ada beberapa poin yang dapat kita simpulkan dari beberapa hala uraian diatsa mengenai lingkungan pendidikan. Beberapa poin trsebut adalah :
1. Lingkungan Keluarga adalah lingkungan yang meletakkan dasar – dasar pendidikan yang pertama secara mental spiritual , dalam segi pembentukan kebripadian, nilai –nilai luhur moral dan agama sejak kelahirannya.
2. Sedangkan di lingkungan sekolah secara akademik konseptual merupakan sambungan yang dilanjutkan dan dikembangkan dengan berbagai macam materi pendidikan berupa ilmu daan ketrampilan ( life skills )
3. Beda di masyarakat, di lingkungan ini memiliki peran serta mengawasi, menyalurkan dan membina serta meningkatkan pendidikan itu.
4. Setiap pusat pendidikan dapat berpeluang memberikan kontribusi yang besar dalam ketiga kegiatan pendidikan, yakni:
1. pembimbingan dalam upaya pemantapan pribadi yang berbudaya
2. pengajaran dalam upaya penguasaan pengetahuan
3. pelatihan dalam upaya pemahiran keterampilan.














DAFTAR PUSTAKA

Slameto. 1991. Belajar dan Faktor - faktor yang Mempengaruhuinya. Jakarta : Rineka Cipta.
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati. 2001. Ilmu Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
Ki Hajar Dewantara. 1977. Bagian Pertama Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Rasyad, Aminuddin, M. Arifin. 1992. Dasar – dasar Pendidikan. Jakarta : Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Universitas Terbuka
Rohman, Arif. 2009. Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan. Yogyakarta : LaksBang Mediatama

Minggu, 28 Maret 2010

MAKALAH ULUMUL QUR’AN
AYAT MUHKAM DAN MUTASYABIH
SERTA FAWATIHUS SUWAR

Disusun sebagai tugas mata kuliah Ulumul Qur’an
Pengasuh :
Drs. H. Sholichin, Mag.


PENYUSUN :
1.Afista Putri R.S
2.Miftakhul Munib Ubaid
3.Muh. Ikhsanur Rizal
4.Agustin Wulandari
5.Yeni Tri Lestari

PROGRAM S1 PAI
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
“ AL – MUSLIHUUN “
TLOGO - KANIGORO - BLITAR








Kata Pengantar

Segala puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ulumul Qur’an semester II tingkat 1.
Harapan penulis, kiranya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca untuk dijadikan sebagai bahan referensi dalam mempelajari bahasan ini.
Akhir kata, tak ada gading yang tak retak. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati akan menerima kritik, saran yang kronstruktif.


Blitar, 21 November 2009

Tim penyusun
Kel. 04 / C2









Daftar Isi

Halaman judul.................................................................................. I
Kata Pengantar ................................................................................ II
Daftar Isi ........................................................................................ III

BAB I
Pendahuluan ......................................................................................4
BAB II
Ayat Muhkam Dan Ayat Mutasyabih....................... ........................5
BAB III
Fawatihus Suwar.................................................................................9
BAB IV
Penutup..............................................................................................10
Daftar Pustaka ...................................................................................20

















BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Studi atas Al-qur’an telah banyak dilakukan oleh para ulama dan sarjana tempo dulu, termasuk para shahabat di zaman Rosululloh saw. Hal itu tidak lepas dari disiplin dan keahlian yang dimiliki oleh mereka masing-masing. Ada yang mencoba mengolaborasai dan melakukan eksplorasi lewat perpekstif keimanan, historis, dan bahasa dan sastra, pengkodifikasian, kemu’jizatan, penafsiran serta telaah kepada huruf-hurufnya. Para ulama’ mengidentifikasi masalah ini sebagai masalah yang paling rumit untuk dikaji oleh para peneliti Al-Qur’an dari sudut ilmiah dan istoris.
Hal yang paling mendasari penyusunan makalah ini adalah perandingan penciptaan alam dari segi sains dan al qur’an. Disamping itu untuk memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah ilu alamiah dasar.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalah makalah ini mencakup beberapa permasalahan dari Ilmu Ulumul Qur’an yaitu sebagai berikut :
1. Apakah Pengertian Ayat Muhkam dan Mutasyabih?
2. Apakah Kriteria Ayat Muhkam dan Mutasyabih ?
3. Bagaimanakah Sikap Para Ulama’ Terhadap Ayat Muhkam dan Mutasyabih?
4. Apakah Definisi dan Macam – macam Fawatihus Suwar ?
5. Adakah Keurgensian Ketika Mempelajari Fawatihus Suwar ?
6. Apakah Hikmah Ayat Muhkam dan Mutasyabih ?
1.3 Ruang Lingkup
Menjelaskan tentang Ayat – ayat Muhkam dan Ayat mutasyabih serta fawatihus Suwar.




1.4 Tujuan Penulisan
Tujuan merupakan ungkapan sasaran – sasaran yang ingim dicapai dalam makalah ini. Dan dalam makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut
1.Mengetahui tentang pengetian Ayat Muhkam dan Mutasyabih
2.Mengetahui Kriteria Ayat Muhkam dan Mutasyabih
3.Mengetahui Khilafiah Sikap Para Ulama’ Terhadap Ayat Muhkam dan Mutasyabih?
4.Mengetahui tentang pengetian Fawatihus Suwar dan macam - macamnya
5.Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ulumul Qur’an





















BAB II
AYAT MUHKAM DAN AYAT MUTASYABIH
2.1 Pengertian
secara bahasa bahwa yang disebut Muhkam adalah sesuatu yang paten dan kokoh, sedang mutasyabih adalah adanya penyerupaan antara dua jenis benda.
Dalam hal ini pengertian ayat-ayat muhkam menurut istilah syar’i adalah ayat- ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedang ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang hanya diketahui maknanya oleh Allah sendiri. Ayat muhkam berarti ayat yang memiliki satu bentuk (wahjun), sedang mutasyabih mengandung banyak wajah. Ayat muhkam juga berarti ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, sedang mutasyabih adalah ayat yang memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat yang lain. Para ulama memberikan contoh beberapa ayat-ayat muhkam, diantaranya adalah ayat-ayat yang membahas masalah halal dan haram, hudud, kewajiban, janji dan ancaman.
Bentuk bentuk ayat – ayat Mutasyabih yang terdapat dalam Al-Qur’an ada dua macam.
1.Hakiki, yaitu apa yang tidak dapat diketahui dengan nalar manusia, seperti hakikat sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Walau kita mengetahui makna dari sifat-sifat tersebut, namun kita tidak pernah tahu hakikat dan bentuknya, sebagaimana firman Allah SWT.
“Artinya : Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmuNya” [Thahaa : 110]
Bentuk Mustasyabih yang ini tidak mungkin untuk dipertanyakan sebab tidak mungkin untuk bisa diketahui hakikatnya.
2.Relatif, yaitu ayat-ayat yang tersamar maknanya untuk sebagian orang tapi tidak bagi sebagian yang lain. Artinya dapat dipahami oleh orang-orang yang mendalam ilmunya saja.
Bentuk Mutasyabih yang ini boleh dipertanyakan tentang penjelasannya karena diketahui hakikatnya, karena tidak ada satu katapun dalam Al - Qur’an yang artinya tidak bisa diketahui oleh manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : (Al-Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa” [Ali-Imran : 138]
Sikap Para Ulama Terhadap Ayat-Ayat Muhkamat Dan Mutasyabihat
Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini. Perbedaan itu muncul dari pemahaman mereka terhadap firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 7. Sebagian Ulama, terutama ulama salaf berpendapat bahwa mutasyabih itu tidak dapat diketahui kecuali hanya Allah, dalam hal ini, mereka mencoba mengembalikan ayat-ayat mutasyabih kepada ayat- ayat muhkam. Al-raghib Al-Ashfahani berpendapat bahwa ayat-ayat mutasyabih terbagi menjadi tiga (3) bagian, yaitu
1.Ayat yang tidak bisa dijangkau oleh akal manusia, hanya Allah sendiri yang mengetahuinya, seperti hari kiamat dan alam gaib.
2.Ayat yang berkaitan dengan hukum/bahasa
3.Ayat yang hanya diketahui oleh ulama-ulama tertentu yang sudah mendalami ilmu ayat.
D. Hikmah adanya ayat-ayat mutasyabihat
Kalau seandainya Al-Qur’an seluruhnya Muhkam, maka akan hilanglah hikmah dari ujian pembenaran dan amal perbuatan, karena maknanya sangat jelas dan tidak ada kesempatan untuk menyelewengkannya atau berpegang kepada ayat Mutasyabih untuk menebarkan fitnah dan merubahnya. Dan kalau seandainya Al-Qur’an seluruhnya adalah Mutasyabih, maka akan lenyaplah posisi Al-Qur’an sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia serta tidak mungkin untuk melakukan amal ibadah dengannya dan membangun aqidah yang benar diatasnya. Akan tetapi
Beberapa Hikmah adanya Ayat Mutasyabih adalah :
1.Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hikmahNya menjadikan sebagian ayat-ayat Al-Qur’an Muhkam agar bisa dijadikan rujukan ketika terdapat makna yang tersamar.
2.Ayat Mutasyabih merupakan ditujukan sebagai ujian bagi para hamba agar terlihat jelas orang yang benar-benar beriman dari orang yang dihatinya terdapat penyakit, karena orang yang benar-benar beriman akan mengakui, bahwa Al-Qur’an seluruhnya berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan apa saja yang berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah benar, tidak mungkin ada kebathilan atau kontradiksi sedikitpun padanya.
3.Memperbanyak pahala bagi orang yang memiliki kecendrungan mendalami Alquran. Karena semakin banyak bidang kajian yang harus dikembangkan.
4.Pembenaran terhadap adanya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam, sehingga setiap kelompok umat menyadari keterbatasannya dalam memahami firman Tuhan. Sebagai konsekwensi logis dari kesadaran ini adalah tidak adanya fanatisme golongan yang menafikan kebenaran pada pihak lain.
3.Meningkatkan semangat keilmuan di kalangan umat Islam yang berupaya memahami makna ayat-ayat mutasyabihat, sehingga lahirlah berbagai macam metode istinbath hukum yang sangat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
4.Sebagai agama dakwah, ajaran Islam tertuju kepada semua lapisan umat manusia, awam maupun intelek. Karena itu gambaran antrophomorfis tantang Tuhan dapat menggiring masyarakat ‘awam untuk mengenal Tuhan sebagai Dzat yang Immateri.


ur'an : Ilmu







BAB III
FAWATIHUS SUWAR
A.Pengertian Fawatih al-Suwar
Di dalam Al-Qur’an terdapat huruf-huruf awalan dalam pembukaan surat dalam bentuk yang berbeda - beda. Hal ini merupakan salah satu ciri kebesaran Allah dan kehamdatahuan-Nya,sehingga kita terpanggil untuk menggali cirri kebesaran Allah dankemahatahuan-Nya, sehingga semakin dikaji ayat - ayat tersebut. Dengan adanya suatu keyakinan bahwa semakin dikaji ayat-ayat itu, maka semakin luas pengetahuan kita. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya perkembangan ilmu tafsir yang kita lihat hingga sekarang ini. Dan diantara ulama yang mengidentikannya adalah Manna Khalil al-Qathan dalam karya nya ‘‘Mabahis Fi Ulum al-Qur’an’’padahal huruf al-Muqaththa’ah bagian dari fawatih al-suwar.
Lalu bagaimana memahami huruf - huruf yang terdapat dalam pembukaan - pembukanaan surat serta bagaimana hubungannya dengan sejarah turunnya Al - Qur’an.
Dari segi bahasa, fawatih al-suwar adalah pembukaan surat yang terdapat dalam al-qur’an, karena posisinya terletak diawal surat dalam al-qur’an. Seluruh surat dalam al-qur’an di buka dengan sepuluh macam pembukaan dan tidak ada satu surat pun yang keluar dari sepuluh macam tersebut. Setiap macam pembukaan memiliki rahasia tersendiri sehingga sangat penting untuk kita pelajari.. Ia merupakan bagaian ayat mutasyabihat, karena ia bersifat mujmal (global), mu’awwal (memerlukan takwil), danmusykil (sukar dipahami).
B. Macam-Macam fawatih al-suwar.
Beberapa ulama telah melakukan penelitian tentang fawatih al-suwar dalam al-Qur’an, diantaranya adalah imam al-Qasthalani, beliau membagi kepada sepuluh macam. Sementara ibnu Abi al-Isba juga telah melakukan penelitian dan beliau membagi kepada lima macam saja,dan dalam pembahasan ini kami akan mengetengahkan pendapat al-Qasthalani :Adapun sepuluh macam menurut beliau adalah:
1. Pembukaan pujian kepada Allah swt yang ada dua macam yaitu:
a.menetapkan sifat-sifat terpuji (الاءثبات الصفات الماض). Dengan manggunakan lafaz yaitu:
1.memakai lafaz hamdalah yakni dibuka dengan الحمد لله yang terdapat dalam lima surat : Q.S. Al Fatihah, Al An'am, Al Kahfi, Saba, dan Fathr.
2.memakai lafaz تبارك terdapat dalam dua surat yaitu Q.S. Al Furqon dan Al Mulk
b.Mensucikan Allah dari sifat-sifat negatif (تشبح عن صفات نقص) dengan menggunakan lafaz tasbih (يسبح, سبح, سبح, سبحن). Sebagai mana terdapat dalam tujuh surat yaitu : Q.S. Al Isra, al A'la, al Hadid, al Hasyr, as shaff, al jum'ah, dan at Taghabun.
2.Pembukaan dengan panggilan/al istiftah bin nida (الا ستفتح بنداء)
Nida disini ada 3 macam, yaitu Nida untuk nabi, misalnya (ياايها النبي) terdapat dalam tiga surat yaitu: Q.S. Al Ahzab, At Tahrim dan At Thalaq.( ياأيها المزمل ) dalam Q.S. al Muzammil dan term ( ياأيها المدثر ); Nida untuk Mukminin (ياايها الذين امنوا) dengan term ياأيها الدين امنوا terdapat dalam Q.S. Al Maidah dan Al hujurat. Dan Nida untuk manusia (ياايها الناس) terdapat dalam dua surat yaitu: Q.S. An Nisa dan Q.S. Al Hajj. Menurut As Suyuthi pembukaan dengan panggilan ini terdapat dalam 10 surat, yakni ditambah dengan Q.S.Al-Mumtahanah.
3.Pembukaan dengan huruf-huruf yang terputus (الا ستفتح بالاحرف المنقطعه)
Pembukaan dengan huruf-huruf ini terdapat dalam 29 surat dengan memakai 14 surat tanpa diulang yaitu: ا, ى, ه, ن, م, ل, ق ,ع, ط, ص, س, ر,ح. Penggunaan huruf-huruf di atas dalam fawatih al-Suwar disusun dalam 14 rangkaian, yang terdiri dari beberapa bentuk sebagai berikut:
a)Terdiri dari satu huruf, terdapat dalam tiga surat yakni ص (QS.Shad), ق (QS.Qaf), dan ن (QS, Qalam/Nun ).
b)Terdiri dari dua huruf, terdapat dalam 10 surat, 7 surat dinamakan Hawamim(surat-surat yang dibuka dengan Hamim), yakni: (QS, Al-Mukmin,Al-fussilat, Al-surra, Al- Zuhruf, Al- Dukhan, Al- Jatsiah, Al- Ahqaf), طه (QS, Taha), طس (QS, Naml) يس (QS, Yasin).
c)Terdiri dari tiga huruf, enam surat dimulai dengan الم yaitu: (QS, Al-Baqarah, Al- Imran, Al-Ankabut, Ar-Rum, Lukman, dan Al-Sajdah), lima surat dimulai denganاالر yaitu: (QS, Yunus, Hud, Ibrahim, Yusuf dan Al-Hijr), dan dua surat dimulai denganطسم yaitu: (QS, Qashash dan Asy-Syuaro).
d)Terdiri dari empat huruf yaitu terdapat dalam 2 rangkaian dan 2 surat, yakni المر (Q.S. Ar Ra'du) dan المص (Q.S. Al A'raf).
e)Terdiri dari lima huruf yaitu terdapat dalam 2 rangkaian dan 2 surat, yakni كهيعص (Q.S. Maryam) dan حم عسق (Q.S. As Syu'ra).
4.Pembukaan dengan sumpah(الاءتتفناحبقسام)
Terdapat dalam 16 surat dibagi kepada tiga bagian sebagai berikut:
a)Sumpah dengan benda angkasa misalnya: والنجم (QS, An-Nazm), والسماء والطارق (QS, Ath-Thariq), dan lain-lain.
b)Sumpah dengan benda bawah misalnya: والتين (QS, At-Tin), والعديت (QS, Al_’Adiyat), dan lain-lain
c)Sumpah dengan waktu misalnya: والعصر (QS, Al-Ashr), واليل (QS, Al-Lail), dan lain-lain.
5.Pembukaan dengan kalimat (jumlah)
Khabariah ada 23 surat dan dibagi dua macam sebagai berikut:
a. Jumlah ismiyah, jumlah ismiyah menjadi pembuka surat yang terdiri dari 11 surat yaitu: براءة من الله ورسوله (QS, At-Taubat), سورة انزلناها وفرضناها (QS, An-Nur) . Q.S. Az Zumar, Q.S. Muhammad, Q.S. Al Fath, Q.S. Ar Rahman, Q.S. Al Haaqqah, Q.S. Nuh, Q.S. Al Qodr, Q.S. Al Qori'ah, dan Q.S.Al-Kautsar.
b. Jumlah fi’liyah, jumlah fi’liyah yang menjadi pembuka surat terdiri dari 12 surat yaitu: يسئلونك عن الانفال (QS, Al-Anfal), قد افلح المؤ منون (QS, Al-Mukminun) , Q.S. Al Anbiya, Q.S. Al Mujadalah, Q.S. Al Ma'arij, Q.S. Al Qiyamah, Q.S. Al Balad, Q.S. Abasa, Q.S. Al Bayyinah, Q.S. At Takatsur.
6.Pembukaan dengan Syarat (الاءستفتاح با لشرط)
Terdiri dari tujuh surat misalnya اذالشمس كورت (QS, At-Takwir).اذالسماء انفطرت (QS, Al Inpithar) dan lain-lainnya.
7.Pembukaan dengan kata perintah.
Adapun pembukaannya terdiri dari enam surat yaitu: dengan kata اقرا dalam surat Al-Alaq, dan dengan kata قل dalam surat al-Jin, al-Kfirun, al-Falaq, dan al-Annas.
8.Pembukaan dengan pertanyaan.(al-Istiftah bil Istifham).
Bentuk nya ada dua dan terdapat empat surat dalam al-Qur’an. Yaitu:
a. Pertanyaan fositif misalnya: هل اتي علي الانسان (QS. Ad-dahr).
b. Pertanyaan negatif misalnya: الم نشرح لك صدرك (QS, Al-Insyirah),
9.Pembukaan dengan do’a
Ada tiga surat didalam al-Qur’an. Misalnya:ويل للمطففين (QS, Al-Muthaffifin).
10.Pembukaan dengan alasan (al-Istiftah bit-Ta’lil).
Ada satu surat didalam al-Qur’an. Misalnya لايلف قريش (QS. Al-Qurais)





C. Pendapat Ulama Tentang Fawatih al-Suwar.
Para ulama salaf dalam menyikapi ayat-ayat mutasyabihat yang terletak pada awal surat berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut telah tersusun sejak azali sedemikian rupa, melengkapi segala yang melemahkan manusia dan mendatangkan seperti Al-Qur’an. Karena kehatian-hatiannya, mereka tidak berani memberipenafsiran dan tidak berani mengeluarkan pendapat yang tegas terhadap huruf itu. Dan mereka berkeyakinan bahwa Allah sendiri yang mengetahuitafsirannya. Hal ini menjadi suatu kewajaran yang berlaku bagi ulama salaf karena dalam hal teologi pun menolak terjun dalam pembahasan tentanghal-hal yang suci seperti ungkapannya: “Istimewa Allah adalah cukupdiketahui, hal ini harus kita percayai, mempersoalkan hal itu adalah bid’ah”.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-Sya’bi yang dikutip oleh Subhi Sholih menyatkaan “ Huruf awalan itu adalah rahasia Al-Qur’an ”. Hal ini sebagaimana diperjelas dengan perkataan Ali bin Abi Tholib.“ Sesungguhnya bagi tiap-tiap kitab ada saripatinya, saripati Al-Qur’an iniadalah huruf-huruf Hijaiyah”. Abu Bakar Ash-Sidiq pernah berkata: “ Ditiap - tiap kita ada rahasianya, rahasia dalam Al-Qu’an adalah permulaan-permulaan surat”.
Pendapat atau penafsiran para mufasir tentang Fawaithus Suwar:
1. Mufasir dari Kalangan Tasawuf.
Ulamaa tasawuf berpendapat bahwa fawatihus Suwar adalah huruf-huruf yang tepotong-potong yang masing-masing diambil darinama Allah, atau yang tiap-tiap hurufnya merupakan penggantian darisuatu kalimat yang berhubungan dengan yang susudahnya atau hurufitu menunjukkan kepada maksud yang dikandung oleh surat yang suratitu dimulai dengan huruf-huruf yang terpotong-pootng itu.
2. Mufasir Orientalis
Pendapat yang palinng jauh menyimpang dari kebenaran adalah dari seorang orientalis yang bernama Noldeke dari Jerman, yang kemudian dikoreksi, bahwa awalan surat itu tidak lain adalah huruf depan dan huruf belakang dari nama-nama para sahabat Nabi. Misalnya: Huruf Sin adalah dari nama Sa’ad Bin Abi Waqosh, Mim adalah huruf depan dari nama Al-Mughiroah, huruf nun adalah dari nama Usman Bin Affan.
3. Al-Khuwaibi
Al-Khuwaibi mengatakan bahwa kalimat- kalimat itu merupakan tasbih bagi Nabi. Mungkin ada suatu waktu Nabi berada dalam keadaan sibuk dan lain sebagainya.
4. Rasyid Ridha
As-sayyid rasyid ridha tidak membenarkan al-quwaibi diatas, karena nabi senantiasa dalam keadaan sadar dan senantiasa menanti kedatangan wahyu. Rasyid ridha berpendapat sesuai dengan ar-Razi bahwa tanbih ini sebenarnya dihadapkan kepada orang-orang musyrik mekkah dan ahli kitab madinah. Karena orang-orang kafir apabila nabi membaca al-Qur’an mereka satu sama lain menganjurkan untuk tidak mendengarkannya, seperti dijelaskan dalam surat fushilat ayat 26.
5. Mufasir Dari Kalangan Syi’ah
Kelompok syi’ah berpendapat bahwa jika huruf-huruf awalah itu dikumpulkan setelah dihapus ulangan-ulangannya maka akan berarti : “Jalan Ali adalah kebenaran yang kita pegang teguh”. Perwakilan itu kemudian dijawab oleh kelompok Ahlu Sunnnah, dan jawabannya berdasarkan pengertian yang mereka peroleh dari huruf-huruf awalan itu yang juga dihapus di ulangan-ulangannya dengan mengatakan “Benarlah jalanmu bersama kaum Ahlu Sunnah”.
Dari pendapat para ahli tentang Fawatihus Suwar, dapat dilihat bahwa pentakwilan sebuah ayat sangat banyak macamnya. Hal ini boleh jadi didasari oleh pendidikan dan ilmu - ilmu yang dimilikinya serta kecenderungan mereka mengkaji Al-Qur’an secara lebih luas.












Urgensi Studi Fawatihus Suwar
Al-Qur’an memiliki banyak keistimewaan dari segi makna dan kebahasaan. Fawatihus suwar merupakan salah satu realitas keistimewaan misterius yang terdapat di dalam Al_Qur’an . Pemaparan tentang fawatihus Suwar, khusunya menyangkut Al-Huruf Al Muqotta’ah, tidak banyak bahkan hampir tidak ada yang berhasil mengungkapkan latar belakang ataupun keterangan yang valid yang secara historis bisa membuktikn hubungan - hubungan fawaitus suwar. Dari segi makna, memang banyak sekali penafsiran – penafsiran spekulatif terhadap huruf-huruf itu. Dikatakan spekulatif, karena penafsiran-penafsiran mengenai hal itu tidak didahului pengungkapan konteks historisnya. Lain halnya dengan Fawatihus Suwar dalam bentuk lain misalnya Al Qosam (sumpah), An Nida’ (seruan), Al Amr (perintah),Al Istifham (pertanyaan) dan lain -lain.
Urgensi telaah terhadap fawatihus suwar tidak terlepas dari konteks penafsiran Al-Qur’an. Pengggalian - penggalian makna yang terlebih dahulu melalui karakter bab ini, akan memberikan nuansa tersendiri, baik yang didasarkan pada data historis yang konkrit ataupunpenafsiran yang menduga - duga. Lebih dari itu tentu saja kita tetap meyakini eksistensi Al-Qur’an, kebesarannya, keagungannya, juga rahasia kemu’jizatannya.
Banyak sekali urgensi yang kita dapat dalam mengkaji Fawatih al-Suwar Adapun sebagian dari urgensinya sebagai berikut:
►Sebagai Tanbih ( peringatan ) dan dapat memberikan perhatian baik bagi nabi,maupun umatnya dan dapat menjadi pedoman bagi kehidapan ini.
►Sebagai pengetahuan bagi kita yang senantiasa mengkajinya bahwa dalam fawatih as-suwar banyak sekali hal-hal yang mengandung rahasia - rahasia Allah yang kita tidak dapat mengetahuinya,
►Sebagai motivasi untuk selalu mancari ilmu dan mendekatkan diri kepada Allah swt.
►Untuk menghilangkan keraguan terhadap al-Qur,an terutama bagi kaum islimin yang masih lemah imannya karena sangat mudah terpengaruh oleh perkataan musuh -musuh islam yang mengatakan bahwa al-qur’an itu adalah buatan Muhammad. dengan mengkaji Fawatih al-Suwar kita akan merasakan terhadap keindahan bahasa al-Qur’an itu sendiri bahwa al-Qur’an itu datang dari Allah swt.
Tabel Fawatih al-Suwar pada Surat al-Qur'an
Fawatih al-Suwar
Nama Surat
الم
Al-Baqarah, Ali Imran, al-Ankabut, al-Rum, Luqman dan al-Sajadah
المص
Al-A'raf
الر
Yunus, Hud, Yusuf, Ibrahim, al-Hijr Al-Ra'd
المر
Al-Ra'd
كهيعص
Maryam
طه
 Tha ha
طسم
Al-Syu'ara, al-Qashahs
طس
Al-Naml
يس
Yasin
ص
Shad












PENUTUP

Kesimpulan

Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat kami ambil dari makalah ini adalah: Fawatih as-suwar adalah pembuka-pembuka surat, karena posisinya di awal surat dalam al-quran menurut al-Qasthalani seluruh surat dalam al-quran dibuka dengan sepuluh macam pembukaan dan tidak ada satu surat pun yang keluar dari sepuluh macam tersebut, sedangkan menurut Ibnu abi al-Isba’ hanya lima macam saja
Para ulama berpendapat bahwa huruf-huruf fawatih as-suwar itu secara umum telah sedemikian azali maka banyak ulama yang tidak berani menafsirkannya dan tidak berani mengeluarkan pendapat yang tegas terhadap makna huruf-huruf tersebut.
Adapun urgensi mempelajari fawatih as-suwar itu secara pokok adalah sbagaimana supaya bertambah keimanan kita dan keyakinan kita terhadap kebenaran ayat-ayat Allah swt. Dan menjadi pedoman dalam kehidupan kita.

DAFTAR PUSTAKA


Al – Maliki al hasani, Muhammad. Samudra – Samudra Ilmu – ilmu Alqur’an ( Ringkasan Kitab Al- itqan fi ulum Al –qur’an karya Imam Jalal AdDin AsSuyuthi). Bandung : PT Arazy Mizan Pustaka
Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih, kitab Ushuulun Fie At-Tafsir edisi Indonesia . 2 September 2006. Belajar Mudah Ilmu Tafsir Penerjemah Farid Qurusy, Jakarta : Pustaka As-Sunnah
Al-Utsaimin Hikmah, Muhammad bin Shalih. Jumat, 1 September 2006. dari Pembagian AL-Qur’an Menjadi Muhkam dan Mutasyabh www.almanhaj.or.id
Hakim, M. Baqir. Penerjemah ( Hashirul haq dkk ).2006. Ulumul.qur’an. Jakarta : Al – Huda.

Rabu, 03 Maret 2010

MAKALAH ULUMUL HADITS
SEJARAH kODIFIKASI HADIST
Disusun sebagai tugas mata kuliah Ulumul Hadist
Dosen Pengampu :
Habib Bawafi, S.Ag. M.Hi


PENYUSUN :
1. M. Ustdazin
2. Agustin Wulandari
3. Yayuk Tri Wulandari
4. Muh. Ikhsanur Rizal

PROGRAM S1 PAI
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
“ AL – MUSLIHUUN “
TLOGO - KANIGORO - BLITAR
2010




Kata Pengantar

Alhamdulillah, segala puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah Ulumul hadis ini.
Sholawat salam semoga tetap terlimpakahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang akan selalu dan selalu kita harapkan syafa’atnya amapi akhir nanti.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ulumul Hadist semester II tingkat 1.
Harapan kami, kiranya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca untuk dijadikan sebagai bahan referensi dalam wacana keislaman.
Akhir kata, tak ada gading yang tak retak. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami dengan senang hati akan menerima kritik dan saran yang konstruktif untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.


Blitar, 01 Maret 2010

Tim penyusun










Daftar Isi

Halaman judul.................................................................................. I
Kata Pengantar ................................................................................ II
Daftar Isi ........................................................................................ III

BAB I
Pendahuluan .........................................................................................1
BAB II
Diwanul Hadits Abad Ke 2 H...............................................................2
BAB III
Masa pemurnian dan penyempurnaanAbad ke 3 H.............................6
BAB IV
Masa menghafal dan mengisnadkan hadits (abad ke - 4 H).................7
BAB V
Penutup................................................................................................10
Daftar Pustaka .....................................................................................14

















BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Hadist atau yang lebih dikenal dengan sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan. . Dan peran hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam yang diakui oleh mayoritas madzhab, tidak dapat dinafikan.
Kendati demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses tadwin (kodifikasi) nya sangat berbeda dengan al-Quran. Sejarah hadits dan periodesasi penghimpunan nya lebih lama dan panjang masanya dibandingkan dengan Al – qur’an..Al hadits butuh waktu 3 abad untuk pentadwinanya secara menyeluruh. Banyak sekali liku – liku dalam sejarah pengkodifikasian hadis yang berklangsung pada waktu itu.
Atas dasar masalah yang diuraikan di atas makalah ini disusun Disamping itu adalah untuk memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah ulumul hadist.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah makalah ini akan membahas beberapa hal sebagai berikut :
1. Kapankah Kodifikasi Hadist Resmi dilaksanakan ?
2. Metode apa saja yang dilakukan untuk pengkodifikasi hadist ?
3. Adakah implikasi dari kegiatan pentadwinan hadis ini ?
1.3 Ruang Lingkup
Menjelaskan tentang Sejarah Kodifikasi Hadist dari abad Ke II, III, dan IV H dan perkembangannya.
1.4 Tujuan Penulisan
Tujuan merupakan ungkapan sasaran – sasaran yang ingim dicapai dalam makalh ini.
Dalam makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui sejarah Pengkodifikasian hadits dan perkembanganya
2. Untuk mengetahui metode apa saja dalam pentadwinan hadis tersebut
3. Untuk mengetahui implikasi kegiatan pengkodifikasian hadis ini
4. Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ulumul Hadis.

BAB II ( ABAD KE 2 H )
DIWANUL HADITS
2.1 Pengertian
Mengutip kitab Al Muhith, Al – Fairuz mengatakan bahwa : “ Tadwin secara bahasa diterjemahkan dengan kumpulan shahifah (mujtama’ al – shuhuf). Menurut Dr. Muhammad Ibn Mathar AL – Zahrani tadwin adalah : ” mengikat yang berserakan lalu mengumpuklannya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri dari lembaran – lembaran. Sedangkan secara luas tadwin sendiri diartikan dengan al Jam’u (mengumpulkan).
Apabila merujuk dari 2 pengertian diatas dapat disimpulkan pentadwinan hadis bisa diartikan Diwanul Hadis Dalam bahasa Indonesianya tadwin ini lebih umum dikenal dengan nama kodifikasi.
2.2 Kapankah Kodifikasi Hadits Resmi ?
Beberapa pendapat yang berbeda berkembang mengenai kapan kodifikasi secara resmi dan serentak dimulai. Adapun beberapa pendapat terseburt adalah :
(1) Kelompok Syi;ah, mendasarkan pendapat Hasan al-Sadr (1272-1354 H), yang menyatakan bahwa penulisan hadis telah ada sejak masa Nabi dan kompilasi hadis telah ada sejak awal khalifah Ali bin Abi Thalib (35 H), terbukti adanya Kitab Abu Rafi;, Kitab al-Sunan wa al-Ahkam wa al-Qadaya..
(2) Sejak abad I H, yakni atas prakarsa seorang Gubernur Mesir Abdul Aziz bin Marwan yang memerintahkan kepada Kathir bin Murrah, seorang ulama HImsy untuk mengumpulkan hadis, yang kemudian disanggah Syuhudi Ismail dengan alasan bahwa perintah Abdul Aziz bin Marwan bukan merupakan perintah resmi, legal dan kedinasan terhadap ulama yang berada di luar wilayah kekuasaannya.
(3) Sejak awal abad II H, yakni masa Khalifah ke-5 Dinasti Abbasiyyah, Umar ibn Abdul Aziz yang memerintahkan kepada semua gubernur dan ulama di wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan hadis - hadis Nabi Khalifah ini terkenal dengan sebutan kehormatan, Umar II, yang mengisyaratkan pengakuan bahwa ia adalah pelanjut kekhalifahan 'Umar Ibn al-Khaththab yang bijak bestari. Khalifah Umar menginstruksikan kepada Gubernur Madinah Abu Bakar Bin Muhammad Bin ‘Amr Bin Hazm (Ibnu Hazm) untuk mengumpulkan hadits yang ada padanya dan pada tabi’in wanita ‘Amrah Binti ‘Abdur Rahman Bin Sa’ad Bin Zurarah Bin ‘Ades, murid Aisyah-Ummul Mukminin. kepada Abu Bakar Muhammad ibn Amr ibn Hazm, beliau menyatakan:
“Lihat dan periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasulullah, lalu tulislah karena aku takut akan lenyap ikmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan anda terima selain hadits Rasulullah saw dan hendaklah anda sebarkan ilmu dan mengadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat mengetahuinya, lantaran tidak lenyap ilmu hingga dijadikannya barang rahasia.”
Berdasarkan instruksi resmi Khalifah itu, Ibnu Hazm minta bantuan dan menginstruksikan kepada Abu Bakar Muhammad Bin Muslim Bin Ubaidillah Bin Syihab az Zuhry (Ibnu Syihab Az Zuhry) seorang ulama besar dan mufti Hijaz dan Syam untuk turut membukukan hadits Rasulullah saw.
Pendapat ketiga ini yang dianut Jumhur Ulama Hadis, dengan pertimbangan jabatan khalifah gaungnya lebih besar daripada seorang gubernur, khalifah memerintah kepada para gubernur dan ulama dengan perintah resmi dan legal serta adanya tindak lanjut yang nyata dari para ulama masa itu untuk mewujudkannya dan kemudian menggandakan serta menyebarkan ke berbagai tempat.
Dengan demikian, penulisan hadis yang sudah ada dan marak tetapi belum selesai ditulis pada masa Nabi, baru diupayakan kodifikasinya secara serentak, resmi dan massal pada awal abad II H, yakni masa Umar bin Abdul Aziz, meskipun bisa jadi inisiatif tersebut berasal dari ayahnya, Gubernur Mesir yang pernah mengisyaratkan hal yang sama sebelumnya.
2.3 Latar Belakang Tadwin Hadits
Pembukuan hadits dimulai pada akhir abad pertama Hijri, dan rampung pada pertengahan abad ketiga. Hal ini tidak lepas dari adanya dorongan pembukuan hadits oleh Khalifah 'Umar Ibn 'Abd al-'Aziz (w. 102 H.) dari Bani Umayyah.. Pada waktu itu Umar Bin Abdul Aziz (Khalifah ke-8 Bani Umayyah) yang naik tahta pada tahun 99 H berkuasa. Beliau ini dikenal sebagai orang yang adil dan wara’ bahkan sebagian ulama menyebutnya sebagai Khulafaur Rasyidin yang ke - 5, tergeraklah hatinya untuk membukukan hadits dengan motif :
a. Beliau khawatir ilmu hadits akan hilang karena belum dibukukan dengan baik.
b. Kemauan beliau untuk menyaring hadits palsu (maudhu’) yang banyak beredar.
c. Al - Qur’an sudah dibukukan dalam mushaf, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran tercampur dengan hadits bila hadits dibukukan.
d. Peperangan dalam penaklukan negeri negeri yang belum Islam dan peperangan antar sesama kaum Muslimin banyak terjadi, dikhawatirkan ulama hadits berkurang karena wafat dalam peperangan - peperangan tersebut.
Dari sudut analisa politik, tindakan 'Umar II ini adalah untuk menemukan dan mengukuhkan landasan pembenaran bagi ideology Jama'ah-nya, yang dengan ideologi itu ia ingin merangkul seluruh kaum Muslim tanpa memandang aliran politik atau pemahaman keagamaan mereka, termasuk kaum Syi'ah dan Khawarij yang merupakan kaum oposan terhadap rezim Umayyah. 'Umar II melihat bahwa sikap yang serba akomodatif pada semua kaum muslim tanpa memandang aliran politik atau paham keagamaan khasnya itu telah diberikan contohnya oleh penduduk Madinah, di bawah ke kepeloporan tokoh-tokohnya seperti 'Abdullah ibn 'Umar (Ibn al-Khaththab), 'Abdullah Ibn 'Abbas dan 'Abdullah Ibn Mas'ud.
Mushthafa al-Siba'i dalam majalah Al-Muslimin seperti yang dikutip Nurcholis Madjid amat menghargai kebijakan 'Umar II berkenaan dengan pembukaan sunnah itu, sekalipun ia menyesalkan sikap Khalifah yang baginya terlalu banyak memberi angin pada kaum Syi'ah dan Khawarij (karena, dalam pandangan al-Siba'i, golongan oposisi itu kemudian mampu memobilisasi diri sehingga, dalam kolaborasinya dengan kaum Abbasi, mereka akhirnya mampu meruntuhkan Dinasti Umayyah dan melaksanakan pembalasan dendam yang sangat kejam). Dan, menurut al-Siba'i, sebelum masa 'Umar II pun sebetulnya sudah ada usaha - usaha pribadi untuk mencatat hadits, sebagaimana dilakukan oleh 'Abd Allah Ibn 'Amr Ibn al -'Ash.
2.4 Ciri – ciri Pentadwinan tadwin hadits pada abad ke 2 H
Ada beberapa hal yamg menjadi ciri – ciri proses pengkodifikasian hadist yang ditulis pada periode ini :
1. Umumnya menghimpun dari hadits Rasul SAW serta fatwa sahabat dan tabi’in
2. Himpunan Hadits masih bercampur aduk antara beberapa topikyang ada
3. Belum dijumpai upaya pengklasifikasian antara hadits shahih, hadits hasan dan hadits Dhaif.


2.4 Kitab – kitab hadits Abad Ke 2 H
Setelah itu penulisan hadits pun marak dan dilakukan oleh banyak ulama abad ke-2 H, yang terkenal diantaranya :
1. Al - Muwaththa oleh Imam Malik Anas ( 93 - 179 H ). Selama rentang waktu ini,sejumlah buku hadîts telah disusunnya. Kitab ini memiliki kedudukan tersendiri pada periode ini.Buku ini ditulis antara tahun 130H ampai 141H. Buku ini memiliki kurang lebih 1.720 hadits ,dimana :
• 600 hadîtsnya marfu ’(terangkat sampai kepada Nabi SAW ).
• 222 hadîtsnya mursal (adanya perawi sahabat yang digugurkan)
• 617 hadîtsnya mauquf (terhenti ampai kepada tâbi ’în)
• 275 sisanya adalah ucapan tâbi ’in.
2. Al-Musnad oleh Imam Abu Hanifah an-Nu'man ( wafat 150 H ).
3. Al-Musnad oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi'I ( 150 - 204 H ).
4. Mukhtaliful Hadits oleh Muh, bin Idris asy-Syafi'I ( 150 - 204 H ).
5. Al-Musnad oleh Imam Ali Ridha al-Katsin ( 148 - 203 H ).
6. Al-Jami' oleh Abdulrazaq al-Hamam ash Shan'ani ( wafat 311 H ).
7. Mushannaf oleh Imam Syu'bah bin Jajaj ( 80 - 180 H ).
8. Mushannaf oleh Imam Laits bin Sa'ud ( 94 - 175 H ).
9. Mushannaf oleh Imam Sufyan bin ‘Uyaina ( 107 - 190 H ).
10.as-Sunnah oleh Imam Abdurrahman bin ‘Amr al-Auza'i ( wafat 157 H ).
11.as-Sunnah oleh Imam Abd bin Zubair b. Isa al-Asadi.
Seluruh kitab-kitab hadits yang ada pada abad ini tidak sampai kepada kita kecuali 5 buah saja yaitu nomor 1 sampai dengan 5.







BAB III ( ABAD KE 3 H )
MASA PEMURNIAN DAN PENYARINGAN

3.1 Karakteristik Periode ini
Pada abad ke 3H ini para ulam’ Hadis memfokuskan pengkodifikasian hadis pada beberapa hal yang dikala waktu abad ke 2 H tidak terlaksana. Sudah di kemukaan pada bab sebelumnya bahwa pembukuan hadis belum terpisah – pisah antara hadis yang shahih, mauquf maupun yang maudu’.
Beberapa langkah – langkah untuk melestarikan hadits pada abad ke 3 H ini adalah sbb :
1. Perlawatan ke Daerah – daerah para perowi hadis yang jauh dari pusat kota
Contoh :
• Imam Bukhari melakukan perlawatan selama 16 tahun ke lebih dari 8 kota di timur tengah seperti mekah, madinah Baghdad mesir
2. Pengklasifikasian hadits Marfu’, hadits mauquf dan maudlu’ (palsu).
3. Ahadits Nabi, atsar sahabat dan aqwal (ucapan) tâbi ’în dikategorikan, dipisahkan dan dibedakan.
4. Riwayat yang maqbulah (diterima) dihimpun secara terpisah dan buku - buku pada abad ke – 2 H diperiksa kembali dan di tashih (diautentikasi).
5. Selama periode ini, bukan hanya riwayat yang dikumpulkan, namun untuk memelihara dan menjaga hadîts, para ulamâ`menformulasikan ilmu yang berkaitan dengan hadîts (lebih dari 100 ilmu 19 ) dimana ribuan buku mengenai ini telah ditulis
6. Penyeleksian dan pemilahan hadits kepada shahih, hasan dan Dhaif
Contoh :
• Penyaringan hadits sahih oleh imam ahli hadits Ishaq Bin Rahawih (guru Imam Bukhari).
• Penyusunan kitab Sahih Bukhari
.


3.2 Kitab - kitab Hadits pada abad ke -3 H.
1. Penyusunan enam kitab induk hadits (kutubus sittah), yaitu kitab-kitab hadits yang diakui oleh jumhur ulama sebagai kitab-kitab hadits yang paling tinggi mutunya, sebagian masih mengandung hadits dhaif tapi ada yang dijelaskan oleh penulisnya dan dhaifnya pun yang tidak keterlaluan dhaifnya, ke - 6 kuttubus shittah itu adalah :
• Ash-Shahih oleh Imam Muh bin Ismail al - Bukhari ( 194 - 256 H ).
• Ash-Shahih oleh Imam Muslim al - Hajjaj ( 204 - 261 H ).
• As-Sunan oleh Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'at ( 202 - 275 H ).
• As-Sunan oleh Imam Ahmad b.Sya'ab an - Nasai ( 215 - 303 H ).
• As-Sunan oleh Imam Abu Isa at - Tirmidzi ( 209 - 279 H ).
• As-Sunan oleh Imam Muhammad bin Yazid bin Majah Ibnu Majah ( 209 - 273 H ).
2. As - Sunan oleh Imam Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman ad Damiri ( 181 - 255 H ).
3. Al -Musnad oleh Imam Ahmad bin Hambal ( 164 - 241 H).
4. A l-Muntaqa al-Ahkam oleh Imam Abd Hamid bin Jarud ( wafat 307 H ).
5. Al - Mushannaf oleh Imam Ibn. Abi Syaibah ( wafat 235 H ).
6. Al - Kitab oleh Muhammad Sa'id bin Manshur ( wafat 227 H ).
7. Al-Mushannaf oleh Imam Muhammad Sa'id bin Manshur ( wafat 227 H ).
8. Tandzibul Afsar oleh Imam Muhammad bin Jarir at-Thobari ( wafat 310 H ).
9. Al - Musnadul Kabir oleh Imam Baqi bin Makhlad al-Qurthubi ( wafat 276 H ).
10. Al - Musnad oleh Imam Ishak bin Rawahaih ( wafat 237 H ).
11. Al - Musnad oleh Imam ‘Ubaidillah bin Musa ( wafat 213 H ).
12. A - Musnad oleh Abdibni ibn Humaid ( wafat 249 H ).
13. Al - Musnad oleh Imam Abu Ya'la ( wafat 307 H ).
14. Al - Musnad oleh Imam Ibn. Abi Usamah al-Harits ibn Muhammad at-Tamimi ( 282 H ).
Dan masih banyak sekali kitab-kitab musnad yang ditulis oleh para ulama abad ini.
BAB IV (ABAD IV & V H)
MASA MENGHAFAL DAN MENGISNADKAN

4.1 Kegiatan periwayatan Hadis
Pada periode ini penghimpunan hadists disertai pemeliharaanya tetap dilakukan walau tidak sebanyak yang sebelumnya. Hanya saja hadis – hadis yang dihimpun tidaklah sebanyak sebelum periode ini.
Di dalam era ini jenis kitab – kitab hadis Nabi Saw.mencakup sebagian besar kitab kitab hadis yang sifatnya mengumpulkan kitab - kitab hadis yang telah di himpun dalam kitab kitab hadis Nabi Saw.sebelumnya.
Kegiatan periwayatan Hadits pada periode ini banyak dilakukan dengan cara ijazah ( Lisensi / sertifikat dari guru untuk murid untuk mendapat izin meriwayatkan hadits ) dan muktabah ( pemberian catatan hadits dari gurunya ). Sedikit sekali para ulama’ yang melakukan hafalan seperti ulama Muqaddimin
4.2 Bentuk penyusunan kitab pada periode ini
Para Ulama’ Hadits pada umumnya merujuk kepada karya yang telah ada dengan bentuk kegiatan seperti mempelajari , menghafal, memeriksa, dan meyelidiki sanad – sanadnya. Seperti
• Kitab Jami’ kutub as - sittah ( kitab hadis yang mengumpulkan hadis hadis Nabi Saw yang telah tertuang dalam gabungan beberapa kitab hadis seperti (Shahîh al-Bukhâri, Shahîh Muslim, Sunan at-Turmudzi, Sunan Abi Dawud, Sunan an-Nasa’i, dan Sunan Ibn Majah di antaranya karya Ahmad bin Razin bin Mu ’awiyyah al Abdari al Sarqisthi (w.535 H.) dan beberapa kitab lainnya.
• kitab istikhraj, yaitu mengambil sesuatu hadits dari sahih Bukhory Muslim umpamanya, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri, yang lain dari sanad Bukhary atau Muslim karena tidak memperoleh sanad sendiri. Contoh : Mustakhraj shahih bukhari oleh Jurjani, dan Mustakhraj Sahih Muslim Oleh Abu Awanah
• kitab Athraf, yaitu kitab yang hanya menyebut sebagian hadits kemudian mengumpulkan seluruh sanadnya, baik sanad kitab maupun sanad dari beberapa kitab.
• kitab-kitab Zawaid, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang tidak terdapat dalam kitab-kitab yang sebelumnya kedalam sebuah kitab yang tertentu. Contoh : Zawaid ibnu Majah ‘ala al – usuli al Khamsah.
• Kitab Syarah
• Kitab Mukhtashar
• Kitab Petunjuk
• Kitab Istidrak, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhary dan Muslim atau syarat salah seorangnya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau di sahihkan oleh keduanya. Contoh : Al-Mustadrak ‘ala-Shahihaini oleh Imam Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Hakim an-Naisaburi ( 321 - 405 H ).






















BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Adanya pembukuan hadits mempunyai banyak implikasi - implikasi terhadap perkembangan pemahaman tentang ajaran Islam umumnya, serta perkembangan hadits dan ulumul hadits itu sendiri khususnya.
a. Implikasi Praksis
Implikasi praksis dapat kami uraikan menjadi beberapa bagian di bawah ini :
1) Memudahkan pencarian hukum - hukum syari’at mengingat hadits sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al Qur’an.
Berhukum dengan hadits Nabawi merupakan kebutuhan agama yang sudah pasti. Dan dalam perkembangannya hadits - hadits tersebut telah disusun atau dibukukan berdasarkan masailul fiqh. Seperti kitab - kitab sunan dan lain -lain.
2) Memudahkan penilaian hadits karena sebagian hadits sudah diteliti secara mendalam oleh peneliti sebelumnya.
3) Terpeliharanya kemurnian tradisi Nabi
Banyaknya berita-berita yang sampai ke hadapan kita dengan mengatasnamakan Nabi, sering membuat kita ragu akan kebenaran berita tersebut. Hanya dalam hadits (sunnah) Nabi, yang terwakili dengan hadits shahih, kemurnian warisan Nabi Muhammad dapat terpelihara.
4) Memungkinkan adanya penulisan -penulisan buku hadits baru setelah penulisan kitab-kitab terdahulu
b. Implikasi Teoritis
1. Hadits ahad dapat diterima
2. Ilmu hadits akan berkembang sejalan dengan semakin banyaknya tantangan yang dihadapi oleh hadits
3. Pintu ijtihad semakin lebar dan pintu taklid semakin sempit.
Namun tidak menutup kemungkinan adanya implikasi yang lain yang belum terinventarisir dengan baik oleh penulis.




DAFTAR PUSTAKA
Al – munawar, Said agil. 2004. Al qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta : Ciputat Press
Azami, Muhammad Musthafa., 1994. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (terjemahan Ali Mustafa Yaqub), , Jakarta : Pustaka Firdaus Kodifikasi Hadis: Sebuah Telaah Historis http://uin-suka.info/ejurnal Powered by Joomla! Generated: 16 February, 2010, 16:01
Hasan ar-Rahmânî , Abdul Ghoffâr. 2007. Pengantar Sejarah Tadwîn (Pengumpulan) Hadîts Sumber : http://www cl earpath com
Supatra Munzier. 2006. Ilmu Hadis. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Ulama ’i , A.Hasan Asy ’ari. Sejarah dan Tipologi Syarah Hadis.
Yuslem Nawir. 2001. Ulumul Hadits. Jakarta : PT. Mutiara sumber Widyia