GLOBALISASI:
“Apa yang perlu ditakutkan dari Globalisasi?” Pertanyaan ini mungkin terdengar begitu provokatif, banal, candaan dan penuh dengan kenyataan retorisnya sehingga untuk menjawabnya pun terbilang agak miris dan canggung. Namun, pertanyaan ini telah jelas-jelas menginterupsi isi pembicaraan di setiap ruang-ruang formal maupun non formal kota, hingga setiap pelosok sudut-sudut kota, desa di Indonesia, dalam ceramah-ceramah keagamaan, diskusi seminar keilmuan, hingga obrolan keseharian di warung-warung kopi kecil, di café-café jalanan atau di restoran-restoran franchise yang kini tengah menjamur di pelbagai sudut kota maupun di keriuhan pasar-pasar tradisional. Memandang bahwa konteks dan konsep Globalisasi yang saat ini sering dibicarakan memang masih menjadi euphoria yang membingungkan atau rancu dalam masyarakat luas di Indonesia. Khususnya masyarakat urban1 di Indonesia yang meskipun secara lebih banyak mendapat keleluasaan dalam mengakses informasi tentang Globalisasi dan mengkonsumsi konsep Globalisasi tersebut ketimbang masyarakat pesisir, pelosok, maupun pedalaman.
Globalisasi bisa jadi merupakan sebuah wacana multi-kepentingan / meta-narasi yang belakangan kian santer bukan saja karena telah be-ribu-ribu lembar lebih dituliskan dalam setiap kajian wacana keilmuan, kajian budaya, dsb., melalui berbagai media informasi yang telah mengalami proses ‘reproduksi-nya’. Melainkan juga karena adanya sebuah keadaan yang menggiring kepada “persepsi percepatan”, dimana dunia bergerak cepat selaras dengan kesibukan mesin-mesin produksi, yang juga berarti bahwa manusia sebagai mahluk homo homini lupus2 di tuntut akan kesadarannya akan pemahaman di atas sebagai sebuah strategi-nya membaca realitas dunia sekarang dan masa depan yang sarat utopia kesejahteraan, keadilan dan keseimbangan. Namun juga perlu diakui bahwa konsep Globalisasi adalah sebuah keniscayaan tentang keberadaannya. Apakah ia sesuatu yang nyata atau hanya bagian dari simulacra3 yang sering hadir dalam kajian budaya. Melepas tudingan bahwa globalisme memang digerakkan oleh kekuatan kapitalisme maupun neoliberalisme.
Mengakui bahwa Globalisasi itu ada dan sedang berkembang biak – entah menjadi apa?, dapat terlihat melalui isyarat perubahan yang berlaku dalam struktur kebudayaan masyarakat, seperti; kebiasaan, pola pikir, gaya hidup dan budaya visual yang terbentuk – membentuknya. Ketika kehadirannya lebih dikenali hanyalah karena ekses yang membentuknya bukan dari arus positif yang dihasilkannya, cenderung masyarakat kita yang
1 Definisi ‘masyarakat urban’ disini mengacu pada intertekstual fenomena masyarakat urban yang menjadi tema dalam perhelatan seni CP Biennale 2005 di Museum Bank Indonesia Jakarta: Urban/Culture, lihat tulisan berjudul: “Perlawanan Seni Kaum Urban” oleh Edna Caroline dan Putu Fajar Arcana, pada harian KOMPAS, Minggu 18 September 2005. Pada tulisan itu banyak terdapat penjelasan tentang masyarakat urban dan perilakunya di Indonesia / Urban itu sendiri dari Jim Supangkat sebagai narasumber juga selaku Kurator perhelatan seni tersebut.
2 Pendapat dari filusuf Thomas Hobbes, yang mengartikan bahwa manusia adalah sekumpulan serigala yang buas (memiliki sifat egois yang tinggi dan licik).
3 Simulacra berarti sebuah duplikasi dari duplikasi, yang aslinya tidak pernah ada, sehingga perbedaan antara duplikasi dan asli menjadi kabur. Lihat bagian glosarium pada; Yasraf Amir Piliang, Posrealitas; Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, Jalasutra, Yogyakarta, 2004. halm. 21
mengaku sebagai masyarakat urban lebih banyak merayakannya sebagai sesuatu wujud yang menyenangkan daripada melihatnya sebagai sebuah kecemasan atau sebuah bahan perenungan.
Ada ihwalnya manusia mulai mengenali bentuk sang logos dari sebuah representasi realitas jamannya yakni ketika institusinya mulai menalar apa-apa yang hadir dalam pengamatannya baik melalui penampang-penampang realitas yang muncul dalam kesehariannya. Ketika kini sebuah representasi realitas lebih banyak hadir dalam skema artificial, maka budaya visual masyarakat kita kiranya sedang beranjak kepada suatu tingkatan yang lebih baik. Suatu era ketika teknologi didewa-kan kembali atas kemudahan-kemudahan yang dihasilkannya, tanpa memandang lapisan kelas masyarakat yang memanfaatkannya ataupun yang menikmatinya. Hal ini diterima oleh penulis sebagai isyarat untuk menyelami keburukan – dampak negatif yang barangkali muncul dalam kehadirannya, mengingat kondisi bangsa ini sedang diombang-ambingkan oleh suatu kekuatan besar yang tiada lain ialah konsumerisme dan arus Globalisasi alias kapitalisasi alias neo liberalisasi yang menggerogoti setiap pilar-pilar kebangsaan.
Mungkin kekhawatiran Penulis lebih tertuju pada kehadiran sebuah media yang beberapa saat setelah mengalami proses penciptaan-nya telah diramalkan menjadi sesuatu yang lebih besar melebihi Pencipta dari seorang pencipta-nya. Televisi, sebagai sebuah medium bagi setiap citraan yang sudah tak terhitung lagi jumlahnya apabila tertampung dalam media memori otak manusia. Ia merupakan simulasi sempurna untuk berafiliasi dengan jamannya. Sebagai wujud yang imparsial atau sulit dipisahkan dari kehidupan keseharian manusia. Untuk menikmati – menontonnya terlebih dahulu ia haruslah berhubungan dengan kontak listrik, setelah sebelumnya terhubung pada sebuah transmisi sinyal satelit yang diterima oleh menara-menara raksasa kemudian diteruskan kepada antena-antena kecil televisi kita. Membayangkan setiap seperdetiknya relai dari siaran televisi yang tidak pernah putus atau terus menyala dari setiap orang yang memiliki televisi, maka berapa satuankah yang dihasilkan dari energi yang diperlukan oleh seluruh orang yang memiliki televisi, juga berapa satuan citraan-kah yang dihasilkan dari setiap stasiun televisi yang memiliki jadwal tayangan 24 jam non-stop. Belum lagi dampak apa yang dihasilkan dari acara televisi itu terhadap penontonnya.
Sangat sulit untuk penulis memberi jawaban dari perkiraan bayangan di atas. Boleh jadi juga bahwa penulis sudah terlanjur teragitasi akan Globalisasi yang diskemakan oleh acara televisi, sehingga terbujur puas akan ekstasenya dengan tidak merisaukan dampak buruk apa yang akan terjadi saat melihat acara televisi tersebut. Meskipun ada penawar yang menetralkan pola pikir tersebut seperti mengalihkan pada buku-buku bacaan biasa, melihat benda-benda seni umumnya atau memandang mega. Namun lagi-lagi Penulis mengakui seperti sulit menghindar dari kegelisahan-kegelisahan para pengkaji studi kebudayaan, karena dorongan naluri yang begitu kuat untuk mendedah kesadaran mengarah kepada identitas, sejarah, dan sebagainya, hingga berpolemik dengan schizophrenia seni – mengacak asal-usul bentukan seni masa lalu, kemudian menghadapkannya pada realitas kekinian selaras dengan idiom berkesenian yang berkembang saat ini.
Globalisasi bisa jadi merupakan sebuah wacana multi-kepentingan / meta-narasi yang belakangan kian santer bukan saja karena telah be-ribu-ribu lembar lebih dituliskan dalam setiap kajian wacana keilmuan, kajian budaya, dsb., melalui berbagai media informasi yang telah mengalami proses ‘reproduksi-nya’. Melainkan juga karena adanya sebuah keadaan yang menggiring kepada “persepsi percepatan”, dimana dunia bergerak cepat selaras dengan kesibukan mesin-mesin produksi, yang juga berarti bahwa manusia sebagai mahluk homo homini lupus2 di tuntut akan kesadarannya akan pemahaman di atas sebagai sebuah strategi-nya membaca realitas dunia sekarang dan masa depan yang sarat utopia kesejahteraan, keadilan dan keseimbangan. Namun juga perlu diakui bahwa konsep Globalisasi adalah sebuah keniscayaan tentang keberadaannya. Apakah ia sesuatu yang nyata atau hanya bagian dari simulacra3 yang sering hadir dalam kajian budaya. Melepas tudingan bahwa globalisme memang digerakkan oleh kekuatan kapitalisme maupun neoliberalisme.
Mengakui bahwa Globalisasi itu ada dan sedang berkembang biak – entah menjadi apa?, dapat terlihat melalui isyarat perubahan yang berlaku dalam struktur kebudayaan masyarakat, seperti; kebiasaan, pola pikir, gaya hidup dan budaya visual yang terbentuk – membentuknya. Ketika kehadirannya lebih dikenali hanyalah karena ekses yang membentuknya bukan dari arus positif yang dihasilkannya, cenderung masyarakat kita yang
1 Definisi ‘masyarakat urban’ disini mengacu pada intertekstual fenomena masyarakat urban yang menjadi tema dalam perhelatan seni CP Biennale 2005 di Museum Bank Indonesia Jakarta: Urban/Culture, lihat tulisan berjudul: “Perlawanan Seni Kaum Urban” oleh Edna Caroline dan Putu Fajar Arcana, pada harian KOMPAS, Minggu 18 September 2005. Pada tulisan itu banyak terdapat penjelasan tentang masyarakat urban dan perilakunya di Indonesia / Urban itu sendiri dari Jim Supangkat sebagai narasumber juga selaku Kurator perhelatan seni tersebut.
2 Pendapat dari filusuf Thomas Hobbes, yang mengartikan bahwa manusia adalah sekumpulan serigala yang buas (memiliki sifat egois yang tinggi dan licik).
3 Simulacra berarti sebuah duplikasi dari duplikasi, yang aslinya tidak pernah ada, sehingga perbedaan antara duplikasi dan asli menjadi kabur. Lihat bagian glosarium pada; Yasraf Amir Piliang, Posrealitas; Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, Jalasutra, Yogyakarta, 2004. halm. 21
mengaku sebagai masyarakat urban lebih banyak merayakannya sebagai sesuatu wujud yang menyenangkan daripada melihatnya sebagai sebuah kecemasan atau sebuah bahan perenungan.
Ada ihwalnya manusia mulai mengenali bentuk sang logos dari sebuah representasi realitas jamannya yakni ketika institusinya mulai menalar apa-apa yang hadir dalam pengamatannya baik melalui penampang-penampang realitas yang muncul dalam kesehariannya. Ketika kini sebuah representasi realitas lebih banyak hadir dalam skema artificial, maka budaya visual masyarakat kita kiranya sedang beranjak kepada suatu tingkatan yang lebih baik. Suatu era ketika teknologi didewa-kan kembali atas kemudahan-kemudahan yang dihasilkannya, tanpa memandang lapisan kelas masyarakat yang memanfaatkannya ataupun yang menikmatinya. Hal ini diterima oleh penulis sebagai isyarat untuk menyelami keburukan – dampak negatif yang barangkali muncul dalam kehadirannya, mengingat kondisi bangsa ini sedang diombang-ambingkan oleh suatu kekuatan besar yang tiada lain ialah konsumerisme dan arus Globalisasi alias kapitalisasi alias neo liberalisasi yang menggerogoti setiap pilar-pilar kebangsaan.
Mungkin kekhawatiran Penulis lebih tertuju pada kehadiran sebuah media yang beberapa saat setelah mengalami proses penciptaan-nya telah diramalkan menjadi sesuatu yang lebih besar melebihi Pencipta dari seorang pencipta-nya. Televisi, sebagai sebuah medium bagi setiap citraan yang sudah tak terhitung lagi jumlahnya apabila tertampung dalam media memori otak manusia. Ia merupakan simulasi sempurna untuk berafiliasi dengan jamannya. Sebagai wujud yang imparsial atau sulit dipisahkan dari kehidupan keseharian manusia. Untuk menikmati – menontonnya terlebih dahulu ia haruslah berhubungan dengan kontak listrik, setelah sebelumnya terhubung pada sebuah transmisi sinyal satelit yang diterima oleh menara-menara raksasa kemudian diteruskan kepada antena-antena kecil televisi kita. Membayangkan setiap seperdetiknya relai dari siaran televisi yang tidak pernah putus atau terus menyala dari setiap orang yang memiliki televisi, maka berapa satuankah yang dihasilkan dari energi yang diperlukan oleh seluruh orang yang memiliki televisi, juga berapa satuan citraan-kah yang dihasilkan dari setiap stasiun televisi yang memiliki jadwal tayangan 24 jam non-stop. Belum lagi dampak apa yang dihasilkan dari acara televisi itu terhadap penontonnya.
Sangat sulit untuk penulis memberi jawaban dari perkiraan bayangan di atas. Boleh jadi juga bahwa penulis sudah terlanjur teragitasi akan Globalisasi yang diskemakan oleh acara televisi, sehingga terbujur puas akan ekstasenya dengan tidak merisaukan dampak buruk apa yang akan terjadi saat melihat acara televisi tersebut. Meskipun ada penawar yang menetralkan pola pikir tersebut seperti mengalihkan pada buku-buku bacaan biasa, melihat benda-benda seni umumnya atau memandang mega. Namun lagi-lagi Penulis mengakui seperti sulit menghindar dari kegelisahan-kegelisahan para pengkaji studi kebudayaan, karena dorongan naluri yang begitu kuat untuk mendedah kesadaran mengarah kepada identitas, sejarah, dan sebagainya, hingga berpolemik dengan schizophrenia seni – mengacak asal-usul bentukan seni masa lalu, kemudian menghadapkannya pada realitas kekinian selaras dengan idiom berkesenian yang berkembang saat ini.